Monday, August 7, 2017

BUDAYA LITERASI, BUDAYA MENCERDASKAN BANGSA

Oleh : Rijal Jauhari Syahrulloh
Sebuah negara dengan peradaban yang maju, merupakan gambaran dari pendidikan di negara tersebut. Sering saya mendapat candaan tentang otak orang Indonesia jika di jual itu harganya sangat mahal, karena  free space nya masih banyak alias jarang digunakan. Sebagai orang Indonesia, saya sedih dikatai seperti itu oleh se-bangsa se-tanah air. Contoh lain, jika berbicara tentang Romeo dan Juliet, pasti orang tahu itu karya William Shakespeare. Tapi jika ditanya apa saja karya Shakespeare? Tak banyak yang tahu. Padahal karya Shakespeare bukan hanya itu. Contoh yang lebih dekat, jika ditanya tentang sastrawan Indonesia, dua nama sering disebut, adalah Chairil Anwar dan W.S. Rendra. Padahal sastrawan bukan hanya mereka.Bisa jadi itu merupakan indikator bahwa minat membaca akan ilmu pengetahuan di Indonesia masih sangat rendah.
World Education Ranking atau peringkat pendidikan dunia yang diterbitkan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menentukan, di posisi mana suatu negara maju dalam segi pendidikan. Pada tahun 2016 Indonesia menempati posisi ke-60 dari 61 negara peserta Program for International Student Assessment (PISA). PISA merupakan program yang memungkinkan para pembuat kebijakan untuk menilai perbedaan sistem pendidikan di berbagai negara.
Jika kita melihat lingkungan di sekitar kita, di era teknologi canggih ini, dari pada memegang buku, orang-orang lebih asik memegang gadgetnya. Sangat jarang jika kita melihat di jalan, di angkutan kota, di kereta, di boncengan motor, yang menjadi daya tarik bagi orang-orang khususnya anak-anak kita bukanlah lagi buku, namun HP dan Tablet. Berangkat dari fenomena di atas dan mengingat pendidikan merupakan “agent of change” yang merupakan kebutuhan penting bagi kemajuan peradaban manusia di setiap negara, maka sudah sepantasnya Indonesia memperhatikan posisinya dalam hal pendidikan dan move on untuk meningkatkan kualitasnya, terutama dari minat membacanya karena kemauan membaca merupakan hal yang paling mendasar agar manusia cinta dan haus akan ilmu pengetahuan.
Literasi merupakan sesuatu yang berkaitan dengan membaca dan menulis. Namun tidak hanya sebatas membaca dan menulis, literasi juga perlu ditunjang dengan internaslisasi dari apa yang dibaca dan ditulisnya. Semua orang tahu bahwa lampu merah di persimpangan jalan merupakan tanda berhenti, lampu kuning adalah tanda untuk berhati-hati, dan lampu hijau adalah tanda untuk berjalan. Pada kenyataannya, tidak sedikit para pegendara yang melanggar rambu lalu lintas, menerobos lampu merah, mobil yang berhenti di Ruang Henti Kendaraan (RHK) yang diperuntukkan untuk motor, dan motor yang berjalan di trotoar atau di jalur sepeda. Itu menunjukkan bahwa para pengendara tersebut belum literat karena tidak mengimplementasikan apa yang sudah mereka pahami.
Membaca bukan hanya berbicara tentang ilmu pengetahuan saja. Di atas telah disinggung mengenai bangsa Indonesia masih rendah minat bacanya terhadap ilmu pengetahuan. Alasan orang membaca bisa karena membaca obrolan di grup WA, BBM, Line dan Instagram. Ada juga yang membaca tentang berita hiburan. Oleh karena itu, perlu rangsangan untuk penerus bangsa agar mau membaca karena ingin menambah dan mengenal lebih jauh ilmu pengetahuan.
Membudayakan membaca, membudayakan menulis tentu membutuhkan proses yang tidak mudah. Tidak semudah membiasakan anak-anak kita bermain game, atau menyuruh mereka pergi ke warnet. Membiasakan agar anak-anak membaca perlu usaha ekstra. Saat ini gerakan literasi sudah mulai dikembangkan oleh pemerintah Indonesia. Sinyal yang bagus melihat sikap pemerintah dalam menanggapi persoalan minat baca bangsa Indonesia. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, pemerintah mengembangkan gerakan literasi di sekolah dengan tujuan untuk memotivasi dan menggerakkan agar anak-anak kita di sekolah mau membaca dan menulis guna menumbuhkan budi pekerti. Di berbagai sekolah sudah mulai menjalankan gerakan ini dengan berbagai metode dan strategi. Berbagai pendekatan bisa dilakukan untuk menumbuhkan minta baca anak-anak dan masyarakat di sekitar lingkungan kita.
Dekati apa yang mereka suka; ketahui apa yang sedang diminati oleh anak-anak kita pada saat ini. Biasanya anak-anak pada usia remaja lebih menyukai film-film yang mengisahkan tentang kehidupan remaja, atau juga cerita-cerita fantasi yang menghibur. Jika di lingkungan masyarakat, bukan memaksakan kehendak melainkan pintar-pintar pula apa yang diminati oleh masyarakat.
Suguhkan sesuatu yang mudah; berikan ide atau gagasan, atau suguhkan bacaan yang mudah dicerna dan difahami sesuai dengan usia anak-anak kita. Misalkan untuk usia SD mungkin belum pas jika bacaan mereka buku Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle. Anak akan bosan kabukan karena ceritanya tidak selesai-selesai seperti sinetron di televisi melainkan karena mereka belum bisa memahami isi cerita dalam buku itu karena memeang buku itu bukan diperuntukkan untuk anak-anak seusia mereka.
Membaca itu tidak mahal; Tanamkan pemahaman bahwa untuk membaca itu tidak perlu biaya yang mahal sehingga anak-anak mulai senang dengan membaca karena mereka membaca apa yang mereka suka dan mudah untuk dibaca serta dipahami.
Tentunya banyak cara untuk merangsang anak-anak bangsa ini untuk mau membaca buku khususnya ilmu pengetahuan. Tantangan memang luar biasa adanya. Televisi sudah menyita waktu masyarakat kita. Penumbuhan budaya literasi ini tak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun juga, tanggung jawab bersama masyarakat. upaya sosialisasi secara serius dan kontinyu harus terus digalakkan dengan upaya dari berbagai pihak. Salah satunya kita bisa mulai dari sekolah, tempat yang paling memungkinkan mudah memulai gerakan membangun budaya literasi sebagai budaya mencerdaskan bangsa Indonesia dengan mengenalkan berbagai buku yang menarik minat baca mereka.

Segala sesuatunya tentu berangkat dulu dari diri sendiri. Para pendidiknya terlebih dahulu yang harus menjadi teladan mencintai buku dan lebih banyak membaca buku dari pada para siswanya. Lagi-lagi ini sebuah tantangan. Jika para gurunya sudah terlihat banyak membaca, maka para siswa pun akan meniru dan mau banyak membaca. Harapan ke depan bangsa kita menjadikan membaca itu seperti kebutuhan primer yang akan merasa kekurangan jika hal itu terlewatkan. Untuk mengakhiri tulisan ini, mari kita sama-sama berjuang menanamkan budaya literasi, budaya yang mencerdaskan bangsa. 

0 komentar:

Post a Comment