Thursday, July 17, 2014

NGALEUT TAPAK TILAS 
RADEN AYU DEWI SARTIKA
Oleh : Rijal Jauhari Syahrulloh

Saya ingin menanamkan kepada perempuan bumi putera, 
sebagai perempuan mereka harus bisa segala-gala. 
Agar mereka punya rasa percaya diri terhadap kemampuannya 
dan tidak melulu bergantung pada suami, apalagi pada belas kasihan orang lain
(Dewi Sartika, pelopor pendidikan kaum perempuan)

Berbicara mengenai para pelopor pendidikan di Indonesia, maka tidak akan lepas dari Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang sangat dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Namun tidak hanya Ki Hajar Dewantara yang memiiki peran sebagai pelopor pendidikan di Indonesia, lebih dari satu abad yang lalu ada seorang perempuan dari tanah Pasundan yang terbatas dalam banyak hal mengatakan tentang pentingnya pendidikan dan memperjuangkan pendidikan untuk kaum perempuan.

RADEN DEWI SARTIKA
Terlahir dari keluarga priyayi Sunda, tepatnya di Bandung, 4 Desember 1884, putri dari Nyi Raden Rajapermas dengan Raden Somanagara diberi nama Raden Ayu Dewi Sartika. Meskipun bertentangan dengan adat pada sat itu, ayah-ibunya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah Belanda. Ayahnya, Raden Somanagara adalah seorang pejuang kemerdekaan.
Ketika Dewi berusia sembilan tahun dan masih duduk di kelas III ELS (Europesche Lagere School), ayahnya diasingkan ke Ternate karena dituduh terlibat dalam percobaan pembunuhan Bupati Bandung R.A.A. Martanagara (yang keturunan menak Sumedang) dan beberapa pejabat Belanda di Kota Bandung pada 1893. Peristiwa itu membuat Dewi harus berhenti sekolah karena teman dan kerabatnya menjauhi keluarganya. Mereka takut dituduh terlibat dalam peristiwa itu. Terakhir, sang ayah yang diasingkan ke Pulau Ternate oleh Pemerintah Hindia Belanda meninggal dunia di sana.
Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak dari Nyi Raden Rajapermas) yang pada saat itu menjabat sebagai patih di Cicalengka. Dari didikan pamannya, beliau mendapatkan wawasan budaya-budaya sunda, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda.
Kegemarannya dalam belajar mengajar dalam hal membaca dan menulis sudah terlihat sejak kecil dengan mempraktikkan bersama anak anak pembantu di kepatihan,Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar. Sejak anak-anak ia sudah senang memerankan perilaku seorang guru. Dikatakan demikian karena Sebagai contoh, sebagaimana layaknya anak-anak, biasanya sepulang sekolah, Dewi kecil selalu bermain sekolah-sekolahan dengan teman-teman anak perempuan sebayanya, ketika itu ia sangat senang berperan sebagai guru.
Saat Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena waktu itu belum ada anak (apalagi anak rakyat jelata) yang memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.

SAKOLA ISTRI
Pada usia remaja, Dewi Sartika memutuskan untuk kembali lagi kepada ibunya di Bandung. Jiwanya yang telah dewasa semangatnya yang luar biasa semakin menghantarkannya untuk mewujudkan cita-citanya. Semakin banyak ilmu yang di gali di masa dewasanya, pada 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan.
Berpikir agar anak-anak perempuan di sekitarnya bisa memperoleh kesempatan menuntut ilmu pengetahuan, maka ia berjuang mendirikan sekolah di Bandung, Jawa Barat. Ketika itu, ia sudah tinggal di Bandung. Perjuangannya tidak sia-sia, dengan bantuan R.A.A.Martanegara, kakeknya, dan Den Hamer yang menjabat Inspektur Kantor Pengajaran ketika itu, maka pada pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Sekolah itu berlokasi di Paseban Wetan di Komplek Pendopo Dalem Kabupatian Bandung, atau lebih tepatnya adalah di depan Alun-alun Bandung. Sekolah tersebut hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung semua aktivitas sekolah. Maka untuk ruangan belajar, ia harus meminjam sebagian ruangan Kepatihan Bandung. Tenaga pengajarnya tiga orang : Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Nyi Poerwa dan Nyi Oewit. Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid yang hanya wanita itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan pelajaran agama. 
Masyarakat pun memberikan respon yang positif pada Sakola Istri tersebut. Murid-murid yang terus bertambah sehingga ruangan Kepatihan Bandung yang dipinjam sebelumnya juga tidak cukup lagi untuk menampung murid-murid. Untuk mewujudkan tempat pendidikan yang lebih representatif lagi, Sekolah Isteri pun kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih luas yakni ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau (sekarang jalan Keutamaan Istri). Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung.  
Seiring perjalanan waktu, enam tahun sejak didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit diperbarui menjadi “Sakola Keutamaan Isteri”. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran juga bertambah. 
Animo negatif justru datang dari sebagian besar perempuan kalangan menak. Keluarga dan lingkungan sekitar Dewi Sartika. Menurut mereka, tidak seharusnyalah pelajaran-pelajaran tata krama dan baca tulis yang sebelumnya hanya untuk kalangan priyayi kini diajarkan pada rakyat biasa.  Lalu apa bedanya kami dengan mereka, begitu protes perempuan-perempuan menak ini. Tapi Ibu Dewi tak mau dengar. Maju terus pantang mundur. Baginya, pendidikan tak kenal kelas. Perempuan harus mandiri. Priyayi atau rakyat biasa berhak mendapatkan pendidikan.  Pendidikan adalah kunci kemajuan bangsa.
Usaha keras dilakukan untuk mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Oleh karena itu, pelajaran yang berhubungan dengan pembinaan rumah tangga banyak diberikannya. Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, dari pernikahannya itu ia memiliki putra bernama R. Atot, yang merupakan Ketua Umum BIVB, sebuah klub sepak bola yang merupakan cikal bakal dari Persib Bandung. Suami Dewi Sartika memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Salah satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama dari suaminya, yang telah banyak membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga maupun pemikiran. 
Seiring perkembangan dan kemajuan sekolah yang dirintis oleh Dewi Sartika, mulai bermunculan sekolah-sekolah perempuan yang lain di tanah Pasundan. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan) yang memiliki motto Cageur Bageur dan punya program menarik. Yakni membuat pameran yang memajang karya murid-muridnya di sekolah mereka sendiri. Murid-muridnya senang karena karyanya diapresiasi. Perempuan kini punya taji menunjukkan diri bahwa mereka sama cerdasnya dengan lelaki. Semangat untuk mendirikan sekolah bagi kaum perempuan pun sampai menyebrang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.



Masa kejayaan sekolah untuk kaum perempuan ini mulai luntur. Semua dimulai setelah wafatnya Sang Suami. Dewi Sartika terpukul. Kehilangan orang yang dirasa paling mendukungnya. Tak mau lama berlarut dalam duka, ia menyibukkan diri mencurahkan tenaga dan pikiran untuk sekolahnya. Jepang datang. Sekali tepuk, mereka memporak-porandakan Bandung dan seisinya. Termasuksekolah Kautamaan Istri. Nama sekolah diubah, kurikulum dirombak, dan jumlah murid berkurang banyak. Masa sulit ini berlanjut dengan agresi militer Belanda. Bandung Lautan Api adalah klimaks dari berakhirnya sekolah yang didirikan Dewi Sartika tersebut.
Dewi Sartika dan banyak penduduk lainnya berjalan kaki mengungsi ke arah selatan pada waktu Bandung dibakar. Di Ciamis lah Ibu Dewi menetap dan mulai sakit-sakitan. Sekolah dan cita-cita yang dirintisnya rubuh karena politik. Perang mematikan banyak hal. Korbannya tak hanya kerusakan fisik, tapi juga cita-cita, perjalanan hidup manusia.
Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung. 
Beliau kemudian ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai Pahlawan Nasional. Penganugerahan Gelar kehormatan tersebut diberikan pada tanggal 1 Desember 1966 dan disahkan melalui SK Presiden RI No.252 Tahun 1966.  
Hingga kini gedung sekolah itu masih bertahan dan menjadi SD dan SMP Dewi Sartika di Kautamaan Istri, Bandung. Setelah Dewi Sartika wafat pada 11 September 1947, para alumni Sakola Kautamaan Istri mendirikan Yayasan Dewi Sartika pada 17 April 1955. Yayasan Dewi Sartika ini menaungi TK, SD, dan SMP Dewi Sartika yang kini masih berada di Jalan Kautamaan Istri dengan luas lahan 1428 meter persegi. Bangunan sekolah ini masih persis dengan bentuk aslinya. Dasar bangunannya berbentuk huruf “U”, bagian tengahnya terdapat halaman yang dilapisis semen. Gedung tersebut terdiri atas tiga ruangan (serambi), masing-masing mempunyai dua jendela, satu pintu dan tiga pentilasi. Dinding bagian atas berbentuk persegi dan berkerawang. Bagian ruangan depan terdapat selasar yang disangga tiang-tiang polos, sedangkan atap bangunan dengan gentng. Menurut Undang-Undang Benda Cagar Budaya Nomor 5 tahun 1992, gedung tersebut termasuk bangunan yang dilindungi dan dilestarikan oleh pemerintah.