Friday, October 9, 2015

TRIP KE SANGHYANG HEULEUT CIPATAT

Kamis pagi 8 Oktober 2015 kami berangkat dari cileunyi menuju Cipatat dengan perut yang sudah terisi dan juga perbekalan di dalam tas. Membawa banyak perbekalan karena kami tau perjalanan yang akan ditempuh akan menguras tenaga. Tujuan kami adalah  Sanghyang Poek dan Sanghyang Heuleut yang lokasinya dekat dengan PLTA Saguling.

Kami sampai di Power House PLTA Saguling sekitar pukul 09.30. sampai di portal, bilang aja ke POS satpam mau ke Sanghyang Heuleut nanti diarahkan ke POS berikutnya alias tempat untuk kita parker motor. jadi patokannya Power House PLTA aja ya. Dari lokasi parkir motor, intuk sampai ke lokasi Sanghyang Heuleut, kita harus melewati gua Sanghyang Poek terlebih dahulu dengan melewati jalan setapak di sisi sungai sekitar 10 menit untuk sampai ke Sanghyang Poek.

Sanghyang Poek
Gua Sanghyang Poek merupakan gua purbakala. Gua Sanghyang Poek ini seperti celah yang dibebani tebing tinggi. Sungai yang mengalir di depan Sanghyang Poek, aliran nya tenang, dan tidak terlalu besar. Banyak batu-batuan besar, yang pasti bikin kamu pengin tidur-tiduran dan gak beranjak dari situ. Setelah berfoto ria di sekitar gua Sanghyang Poek, kami melanjutkan perjalanan menyusuri sungai untuk sampai ke tujuan berikutnya yaitu Sanghyang Heuleut. Saran untuk rekan-rekan yangmau main ke sini, bawa perbekalan air yang banyak, karena dari lokasi gua Sanghyang Poek menuju ke Sanghyang Heuleut, harus berjalan kaki menyusuri sungai kurang lebih 1-2 jam, tergantung berapa lama dan berapa kali kita istirahat. Ada dua jalur untuk sampai ke Sanghyang Heuleut, yaitu berjalan dilawan arus sungai (arus sungainya juga kalem kok ga deras seperti di Sanghyang Tikoro), yang kedua melalui jalan setapak sebelah kanan sungai. Kalo mau cepet sampai ya pilih jalan setapak karena tidak harus melewati batu-batu, tapi jangan salah, jika memilih lewat jalur sungai banyak spot yang bagus untuk berfoto.

Sanghyang heuleut
Kami memilih jalan menyusuri sungai karena penasaran dengan tracknya dan tidak mau kehilangan kesempatan untuk berfoto selama perjalanan. Akhirnya setelah 1 jam lebih berjalan, kami pun sampai di lokasi Sanghyang Heuleut. Takjub dengan pemandangan di sana. Rasa cape karena perjalanan yang melelahkan terbayar oleh panorama yang keren di sana. Bagi yang mau berkunjung ke tempat ini, jangan di musim hujan karena arus sungai akan deras dan jalan menuju ke Sanghyang Heuleut akan tertutup disebabkan debit air yang tinggi. Have a nice trip.

Monday, June 22, 2015

KAJIAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM 10 : EVALUASI PENDIDIKAN

Pengertian Evaluasi
Menurut bahasa, kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris “evalution”, yang berarti penilaian atau penaksiran. (John M. Echts dan Hasan Shadily, 1983 : 220). Sedangkan menurut pengertian istilah evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu obyek dengan menggunakan intrument dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur memperoleh kesimpulan.
Ada beberapa pendapat lain definisi mengenai evaluasi:
a. Bloom
Evaluasi yaitu: pengumpulan kegiatan secara sistematis untuk menetapkan apakah dalam kegiatannya terjadi perubahan dalam diri siswa menetapkan sejauh mana tingkat perubahan dalam diri pribadi siswa.
b. Stuffle Beam
Evaluasi adalah proses menggambarkan, memperoleh, dan enyajikan informasi yang berguna untuk menilai alternatif keputusan.
c. Cronbach
Didalam bukunya Designing Evalutor Of Education and Social Program, telah memberikan uraian tentang prinsip-prinsip dasar evaluasi antara lain :
Evaluasi program pendidikan merupakan kegiatan yang dapat membantu pemerintah dalam mencapai tujuannya.
Evaluasi seyogyanya tidak memberikan jawaban terhadap suatu pertanyaan khusus. Bukanlah tugas evalutor memberikan rekomendasi tentang kemanfaatan suatu program dan dilanjutkan atau tidak. Evalutor tidak dapat memberikan pertimbangan kepada pihak lain, seperti halnya seorang pembimbing tidak dapat memilihkan karier seorang murid. Tugas evalutor hanya memberikan alternatif.
Evaluasi merupakan suatu proses terus menerus, sehingga didalam proses didalamnya memungkinkan untuk merevisi apabila dirasakan ada suatu kesalahan-kesalahan.

Tujuan dan Fungsi Evaluasi Pendidikan Islam
Secara rasional filosofis, pendidikan Islam bertugas untuk membentuk al-Insan al-Kamil atau manusia paripurna. Oleh karena itu, hendaknya di arahkan pada dua dimensi, yaitu : dimensi dialektikal horitontal, dan dimensi ketundukan vertikal.
Tujuan program evaluasi adalah mengetahui kader pemahaman anak didik terhadap materi terhadap materi pelajaran, melatih keberanian dan mengajak anak didik untuk mengingat kembali materi yang telah diberikan. Selain itu, program evaluasi bertujuan mengetahui siapa diantara anak didik yang cerdas dan yang lemah, sehingga naik tingkat, kelas maupun tamat. Tujuan evaluasi bukan anak didik saja, tetapi bertujuan mengevaluasi pendidik, yaitu sejauh mana pendidikan bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.
Dalam pendidikan Islam, tujuan evaluasi lebih ditekankan pada penguasaan sikap (afektif dan psikomotor) ketimbang asfek kogritif. Penekanan ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan peserta didik yang secara besarnya meliputi empat hal, yaitu :
  • Sikap dan pengalaman terhadap hubungan pribadinya dengan Tuhannya.
  • Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat.
  • Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupannya dengan alam sekitarnya.
  • Sikap dan pandangan terhadap diri sendiri selaku hamba Allah, anggota masyarakat, serta khalifah Allah SWT.

Dari keempat dasar tersebut di atas, dapat dijabarkan dalam beberapa klasifikasi kemampuan teknis, yaitu :
Sejauh mana loyalitas dan pengabdiannya kepada Allah dengan indikasi-indikasi lahiriah berupa tingkah laku yang mencerminkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Sejauh mana peserta didik dapat menerapkan nilai-nilai agamanya da kegiatan hidup bermasyarakt, seperti ahlak yang mulia dan disiplin.
Bagaimana peserta didik berusaha mengelola dan memelihara, serta menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya, apakah ia merusak ataukah memberi makna bagi kehidupannya dan masyarakat dimana ia berada.
Bagaimana dan sejauh mana ia memandang diri sendiri sebagai hamba Allah dalam menghadapi kenyataan masyarakat yang beraneka ragam budaya, suku dan agama.
Sedangkan menurut Muchtar Buchari M. Eb, mengemukakan, ada dua tujuan evaluasi :
  • Untuk mengetahui kemajuan belajar peserta didik setelah menyadari pendidikan selama jangka waktu tertentu.
  • Untuk mengetahui tingkah efisien metode pendidikan yang dipergunakan dalam jangka waktu tertentu.
  • Fungsi evaluasi adalah membantu anak didik agar ia dapat mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar, serta memberi bantuan kepadanya cara meraih suatu kepuasan bila berbuat sebagaimana mestinya. Di samping itu fungsi evaluasi juga dapat membantu seorang pendidik dalam mempertimbangkan adeqvate (baik tidaknya) metode mengajar, serta membantu mempertimbangkan administrasinya.

Menurut A. Tabrani Rusyan dan kawan-kawan, mengatakan bahwa evaluasi mempunyai beberapa fungsi, yaitu :
Untuk mengetahui tercapainya tidaknya tujuan instruksional secara komprehensif yang meliputi aspek pengetahuan, sikap dan tingkah laku.
Sebagai umpan balik yang berguna bagi tindakan berikutnya dimana segi-segi yang sudah dapat dicapai lebih ditingkatkan lagi dan segi-segi yang dapat merugikan sebanyak mungkin dihindari.
Bagi pendidik, evaluasi berguna untuk mengatur keberhasilan proses belajar mengajar bagi peserta didik berguna untuk mengetahui bahan pelajaran yang diberikan dan di kuasai, dan bagi masyarakat untuk mengetahui berhasil atau tidaknya program-program yang dilaksanakan.
Untuk memberikan umpan balik kepada guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan mengadakan program remedial bagi murid.
Untuk menentukan angka kemajuan atau hasil belajar.
Untuk menempatkan murid dalam situasi belajar mengajar yang tepat.
Untuk mengenal latar belakang murid yang mengalami kesulitan-kesulitan belajar.

Prinsip-prinsip Evaluasi Pendidikan Islam
Evaluasi merupakan penilaian tentang suatu aspek yang dihubungkan dengan situasi aspek lainnya, sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh jika ditinjau dari beberapa segi. Oleh karena itu dalam melaksanakan evaluasi harus memperhatikan berbagai prinsip antara lain:
a. Prinsip Kesinambungan (kontinuitas)
Dalam ajaran Islam, sangat memperhatikan prinsip kontinuitas, karena dengan berpegang pada prinsip ini, keputusan yang diambil oleh seseorang menjadi valid dan stabil (Q.S. 46 : 13-14).
b. Prinsip Menyeluruh (komprehensif)
Prinsip yang melihat semua aspek, meliputi kepribadian, ketajaman hafalan, pemahaman ketulusan, kerajinan, sikap kerjasama, tanggung jawab (Q.S. 99 : 7-8).
c. Prinsip Objektivitas
Dalam mengevaluasi berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, tidak boleh dipengaharui oleh hal-hal yang bersifat emosional dan irasional.
Allah SWT memerintahkan agar seseorang berlaku adil dalam mengevaluasi. Jangan karena kebencian menjadikan ketidak objektifan evaluasi yang dilakukan (Q.S. : 8), Nabi SAW pernah bersabda : “Andai kata Fatimah binti Muhammad itu mencuri, niscaya aku tidak segan-segan untuk memotong kedua tangannya”.
Demikian pula halnya dengan Umar bin Khottob yang mencambuk anaknya karena ia berbuat zina. Prinsip ini dapat ditetapkan bila penyelenggarakan pendidikan mempunyai sifat sidiq, jujur, ikhlas, ta’awun, ramah, dan lainnya.

Sistem Evaluasi Dalam Pendidikan Islam
Sistem evaluasi dalam pendidikan Islam mengaku pada sistem evaluasi yang digariskan oleh Allah SWT, dalam al-Qur’an dan di jabarkan dalam as-Sunnah, yang dilakukan Rasulullah dalam proses pembinaan risalah Islamiyah.
Secara umum sistem evaluasi pendidikan sebagai berikut :
  • Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai macam problema kehidupan yang dihadapi (Q.S. Al-Baqarah/ 2 : 155).
  • Untuk mengetahui sejauhmana atau sampai dimana hasil pendidikan wahyu yang telah diaplikasikan Rasulullah saw kepada umatnya (QS. An Naml/27:40).
  • Untuk menentukan klasifikasi atau tingkat hidup keislaman atau keimanan seseorang, seperti pengevaluasian Allah terhadap nabi Ibrahim yang menyembelih Ismail putra yang dicintainya (QS. Ash Shaaffat/37:103-107).
  • Untuk mengukur daya kognisi, hafalan manusia dan pelajaran yang telah diberikan kepadanya, seperti pengevaluasian terhadap nabi Adam tentang asma-asma yang diajarkan Allah kepadanya dihadapan para malaikat (QS. Al-Baqarah/2:31).
  • Memberikan semacam tabsyir (berita gembira) bagi yang beraktifitas baik, dan memberikan semacam ‘iqab (siksa) bagi mereka yang berakltifitas buruk (QS. Az Zalzalah/99:7-8).
  • Allah SWT dalam mengevaluasi hamba-Nya, tanpa memandang formalitas (penampilan), tetapi memandang subtansi dibalik tindakan hamba-hamba tersebut (QS. Al Hajj/22:37).
  • Allah SWT memerintahkan agar berlaku adil dalam mengevaluasi sesuatu, jangan karena kebencian menjadikan ketidak objektifan evaluasi yang dilakukan (QS. Al Maidah/5:8).


Sasaran Evaluasi
Langkah yang harus ditempuh seorang pendidik dalam mengevaluasi adalah menetapkan apa yang menjadi sasaran evaluasi tersebut. Sasaran evaluasi sangat penting untuk diketahui supaya memudahkan pendidik dalam menyusun alat-alat evaluasinya.
Pada umumnya ada tiga sasaran pokok evaluasi, yaitu:
  • Segi tingkah laku, artinya segi-segi yang menyangkut sikap, minat, perhatian, keterampilan murid sebagai akibat dari proses belajar mengajar.
  • Segi pendidikan, artinya penguasaan pelajaran yang diberikan oleh guru dalam proses belajar mengajar.
  • Segi yang menyangkut proses belajar mengajar yaitu bahwa proses belajar mengajar perlu diberi penilaian secara obyektif dari guru. Sebab baik tidaknya proses belajar mengajar akan menentukan baik tidaknya hasil belajar yang dicapai oleh murid.
  • Dengan menetapkan sasaran diatas, maka pendidik lebih mudah mengetahui alat-alat evaluasi yang dipakai baik dengan tes maupun non tes.
  • Kedudukan akademis setiap murid, baik dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya, sekolahnya, maupun dengan sekolah-sekolah lain.
  • Kemajuan belajar dalam satu pelajaran tertentu, misalnya tauhid, fiqih, tarikh dan lainnya.
  • Kelemahan dan kelebihan murid.
  • Dalam evaluasi pendidikan Islam ada empat sasaran pokok yang menjadi target.
  • Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan pribadi dengan Tuhannya.
  • Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungannya dengan masyarakat.
  • Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan dengan kehidupan yang akan datang.
  • Sikap dan pandangannya terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah dan selaku anggota masyarakat serta selaku khalifah Allah di bumi.


Dalam melaksanakan evaluasi pendidika Islam ada 2 cara yang dapat ditempuh diantaranya:
Kuantitatif
Evaluasi kuantitatif adalah cara untuk mengetahui sebuah hasil pendidikan dengen cara memberikan penilaian dalam bentuk angka. (5, 7,90) dan lain-lain.
Kualitatif
Evaluasi kualitatif adalah suatu cara untuk mengetahui hasil pendidikan yang diberikan dengan cara memberikan pernyataan verbal dan sejenisnya (bagus, sangat bagus, cukup, baik, buruk) dan lain-lain.

KAJIAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM 9 : LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM



Lembaga Pendidikan Islam Formal
Lembaga pendidikan Islam formal yaitu sekolah atau madrasah. Menurut Abu Ahmad dan Nur Uhbiyato dalam Ramayulis (2008: 282) lembaga pendidikan sekolah yaitu bila dalam pendidikan tersebut diadakan tempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai perpanjangan dan dalam kurun waktu tertentu, berlangsung mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, dan dilaksanakan berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan.
Sementara menurut Hadari Nawawi dalam Ramayulis (2008: 282) mengelompokkan lembaga pendidikan sekolah kepada lembaga pendidikan yang kegiatan pendidikannya diselenggarakan secara sengaja, berencana, sistematis, dalam rangka membantu anak dalam mengembangkan potensinya, agar mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifah di bumi. Adapun yang menjadi pendidiknya adalah guru yang profesional.
Lembaga pendidikan Islam Formal di Indonesia yaitu:
Raudhatul Athfal atau Bushtanul Athfal, atau nama lain yang disesuaikan dengan organisasi pendirinya.
Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau Sekolah Dasar Islam (SDI).
Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah menengah Pertama Islam (SMPI) atau nama-nama lain yang setingkat dengan pendidikan ini, seperti Madrasah Mu’allimin Mu’allimat (MMA), atau Madrasah Mu’allimin Atas (MMA).
Perguruan tinggi, antara lain Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Universitas Islam Negeri (UIN) atau lembaga sejenis milik yayasan atau organisasi keislaman.

Lembaga Pendidikan Islam Informal
Lembaga pendidikan Islam Informal yaitu keluarga. Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat adalah persekutuan antar sekelompok orang yang mempunyai pola-pola kepentingan masing-masing dalam mendidik anak yang belum ada di lingkungannya. Kegiatan pendidikan dalam lembaga ini tanpa ada suatu organisasi yang ketat. Tanpa ada program waktu dan evaluasi.
Dalam Islam keluarga dikenal dengan istilah usrah dan nasb. Pentingnya serta keutamaan keluarga sebagai lembaga pendidikan Islam disyaratkan dalam Al-Quran:  
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahrim: 6)
Keluarga merupakan orang pertama, di mana sifat kepribadian akan tumbuh dan terbentuk. Seorang akan menjadi warga masyarakat yang baik, bergantung pada sifatnya yang tumbuh dalam kehidupan keluarga, di mana anak dibesarkan. Dalam lembaga ini sebagai pendidik adalah orang tua, kerabat, famili, dan sebagainya. Orang tua selain sebagai pendidik juga sebagai penanggung jawab.

Lembaga Pendidikan Islam Non Formal
Lembaga pendidikan Islam non formal adalah lembaga pendidikan yang teratur namun tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. Abu Ahmadi mengartikan lembaga non formal kepada semua bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib dan terencana di luar kegiatan lembaga Sekolah. Lembaga pendidikan Islam non formal yang dimaksud  adalah masyarakat.
Masyarakat merupakan kumpulan individu dan kelompok yang terikat oleh kesatuan bangsa, negara, kebudayaan, dan agama. Setiap masyarakat memiliki cita-cita yang diwujudkan melalui peraturan-peraturan dan sistem kekuasaan tertentu.


KAJIAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM 8 : METODE PENDIDIKAN ISLAM



Pengertian
Metode mengajar adalah cara atau langkah-langkah sistematik yang ditempuh oleh seorang guru dalam menyampaikan materi kepada peserta didik (Abuddin Nata, 2010: 151).


Dasar Metode Pendidikan Islam (Ramayulis, 2008: 187-188)
  • Dasar Agamis, yaitu al-Quran dan Hadis. Pelaksanaan metode disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dilandasi nilai al-Quran dan Hadits.
  • Dasar Biologis, dalam menggunakan metode pendidikan seorang pendidik harus memperhatikan kondisi biologis peserta didik.
  • Dasar psikologis, dalam menggunakan metode pendidikan seorang pendidik  di samping memperhatikan kondisi jasmani peserta didik juga perlu memperhatikan kondisi jiwa atau rohaninya, sebab manusia pada hakikatnya terdiri atas dua unsur, yaitu jasmani dan rohani yang tidak dapat terpisahkan.
  • Dasar Sosiologis, dengan dasar sosiologis seorang pendidik dalam menginternalisasikan nilai yang sudah ada dalam masyarakat  (social value) diharapkan dapat menggunakan metode pendidikan agar proses pembelajaran tidak menyimpang jauh dari tujuan pendidikan Islam.


Prinsip-prinsip Metode Mengajar (Ramayulis, 2008: 189-190)
  • Metode tersebut harus memanfaatkan teori kegiatan mandiri.
  • Metode tersebut harus memanfaatkan hukum pembelajaran.
  • Metode tersebut harus berawal dari apa yang sudah diketahui peserta didik.
  • Metode tersebut harus didasarkan atas teori dan praktek yang terpadu dengna baik.
  • Metode tersebut harus memperhatikan perbedaan individual dan menggunakan prosedur yang sesuai dengan ciri pribadi.
  • Metode harus merangsang kemampuan berpikir dan nalar peserta didik.
  • Metode harus disesuaikan dengan kemajuan peserta didik dalam hal keterampilan, kebiasaan, pengetahuan, gagasan, dan sikap peserta didik.
  • Metedo harus menyediakan bagi peserta didik pengalaman belajar melalui kegiatan belajar yang banyak dan bervariasi.
  • Metode harus menantang dan memotivasi peserta didik ke arah kegiatan-kegiatan yang menyangkut proses deferensiasi dan integrasi.
  • Metode harus memberi peluang bagi peserta didik untuk bertanya dan menjawab pertanyaan.
  • Kelebihan suatu metode dapat menyempurnakan kekurangan/kelemahan metode lain.
  • Satu metode dapat digunakan untuk berbagai jenis materi atau mata pelajaran.
  • Metode pendidikan Islam harus digunakan dengan prinsip fleksibel dan dinamis.


Penggunaan Metode
Langgulung berpendapat bahwa penggunaan metode didasarkan atas tiga aspek pokok, yaitu:
Sifat-sifat dan kepentingan yang berkenaan dengan tujuan utama pendidikan Islam.
Berkenaan dengan metode yang betul-betul berlaku yang disebutkan dalam Al-Quran.
Membicarakan tentang pergerakan (motivation) dan disiplin dalam istilah Al-Quran disebut ganjaran (shawab) dan hukum Iqab.

Metode pendidikan Islam sangat menghargai kebebasan individu, selama kebebasan itu sejalan dengan fitrahnya, sehingga seorang guru dalam mendidik tidak dapat memaksa peserta didiknya dengan cara yang bertentangan dengan fitrahnya. Akan tetapi sebaliknya guru dalam membentuk karakter peserta didiknya tidak boleh duduk diam sedangkan peserta didiknya memilih jalan yang salah.
Upaya guru memilih metode yang tepat dalam mendidik peserta didiknya adalah dengan menyesuaikan metode dengan kondisi psikis peserta didiknya ia harus mengusahakan agar materi pelajaran yang diberikan kepada peserta didik mudah diterima.


Metode Mengajar dalam Pendidikan Islam
  • Metode mengajar dalam pendidikan Islam yang prinsip dasarnya dari al-Quran (Ramayulis, 2008: 193-197):
  • Metode ceramah, adalah suatu cara pengajian atau penyampaian informasi melalui peraturan secara lisan oleh pendidik kepada peserta didik.
  • Metode tanya jawab, adalah suatu cara mengajar di mana seorang guru mengajukan beberapa pertanyaan kepada murid tentang bahan pelajaran yang telah diajarkan atau bacaan yang telah mereka baca.
  • Metode diskusi, adalah suatu cara penyajian atau penyampaian bahan pembelajaran di mana pendidik memberikan kesempatan kepada peserta didik/membicarakan dan menganalisis secara ilmiah guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternatif pemecahan atas suatu masalah.
  • Metode pemberian tugas, ialah suatu cara mengajar di mana seorang guru memberikan tugas-tugas kepada murid-murid, sedangkan hasil tersebut diperiksa oleh guru dan murid mempertanggungjawabkannya.
  • Metode demonstrasi, adalah suatu cara mengajar di mana guru mempertunjukkan tentang proses sesuatu, atau pelaksanaan sesuatu sedangkan murid memperhatikannya.
  • Metode eksperimen, ialah suatu cara mengajar dengan menyuruh murid melakukan sesuatu percobaan, dan setiap proses dan hasil percobaan itu diamati oleh setiap murid, sedangkan guru memperhatikan yang dilakukan oleh murid sambil memberikan arahan.
  • Metode kerja kelompok, adalah suatu cara mengajar di mana guru membagi muridnya ke dalam kelompok belajar tertentu dan setiap kelompok diberi tugas-tugas tertentu dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.
  • Metode kisah, adalah suatu mengajar di mana guru memberikan materi pembelajaran melalui kisah atau cerita.
  • Metode amsal, yaitu suatu cara mengajar di mana guru menyampaikan materi pembelajaran dengan membuat/melalui contoh atau perumpamaan.
  • Metode targhib dan tarhib, adalah cara mengajar di mana guru memberikan materi pembelajaran dengan menggunakan ganjaran terhadap kebaikan dan menjauhi keburukan.


Selain metode tersebut di atas, terdapat beberapa metode lainnya seperti yang disebutkan oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, yaitu (Abuddin Nata, 2010: 151):
  • Metode diakronis, adalah metode mengajar ajaran Islam yang menjolkan aspek sejarah.
  • Metode sinkronis analitis, adalah suatu metode pendidikan Islam yang memberikan kemampuan analisis teoritis yang sangat berguna bagi perkembangan keimanan dan mental intelek, seperti diskusi, lokakarya, seminar, kerja kelompok, dan resensi buku.
  • Problem solving, merupakan metode yang melatih peserta didik dengan cara menghadapkannya pada berbagai masalah suatu ilmu pengetahuan dan solusinya.
  • Metode empiris, adalah suatu metode mengajar  yang memungkinkan peserta didik mempelajari ajaran Islam melalui proses realisasi, aktualisasi, serta interaksi norma-norma dan kaidah-kaidah Islam melalui proses aplikasi yang menimbulkan interaksi sosial.
  • Metode induktif, dilakukan dengan cara mengajarkan materi yang khusus (ju’ziyat) menuju pada kesimpulan yang umum.
  • Metode deduktif, adalah metode yang dilakukan oleh pendidik dalam pengajaran ajaran Islam melalui cara menampilkan kaidah-kaidah yang umum kemudian menjabarkannya dengan berbagai contoh masalah sehingga menjadi terurai.

Selain itu, Ahmad tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam menyebutkan beberapa metode, yaitu (2008: 135):
  • Metode hiwar (percakapan) Qurani dan Nabawi
  • Metode kisah Qurani dan Nabawi
  • Metode amtsal (perumpamaan) Qurani dan Nabawi
  • Metode keteladanan
  • Metode pembiasaan
  • Metode ‘ibrah dan mau’izah
  • Metode targhib dan tarhib



KAJIAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM 7 : KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM


Pengertian Kurikulum
Secara Etimologi
Kurikulun berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curare yang berarti tempat berpacu (Ramayulis, 2008: 150)..
Dalam bahasa Arab, kurikulum biasa diungkapkan dengan manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh manusia pada berbagai bidang kehidupan. Sedangkan kurikulum pendidikan (manhaj al-dirasah) dalam Qamus Tarbiyah adalah seperangkat perencanaan dan media yang dijadikan acuan oelh lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan (Ramayulis, 2008: 150).
Secara Terminologi
Crow dan Crow mendefinisikan kurikulum adalah rancangan pengajaran atau sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis untuk menyelesaikan suatu program untuk memperoleh ijazah (Ramayulis, 2008: 151).
Dr. Addamardasyi Sarhan dan Dr. Munir Kamil yang disitir oleh al-Syaibani, bahwa kurikulum adalah sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial, olah raga, dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi murid-muridnya di dalam dan di luar sekolah dengan maksud menolong untuk berkembang menyeluruh dalam segala segi dan merubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan (Ramayulis, 2008: 151).
Alice Milel mengatakan bahwa kurikulum meliputi keadaan gedung, suasana sekolah, keinginan, keyakinan, pengetahuan, kecakapan, dan sikap-sikap orang yang melayani dan dilayani di sekolah (termasuk di dalamnya seluruh pegawai sekolah) dalam hal ini semua pihak yang terlibat dalam memberikan bantuan kepada siswaaa termasuk ke dalam kurikulum (Ramayulis, 2008: 151).

Fungsi Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum pendidikan Islam memiliki fungsi  sebagai alat untuk mendidik genarasi muda dengan baik dan mendorong mereka untuk membuka dan mengembangkan kesediaan-kesediaan, bakat-bakat, kekuatan-kekuatan, dan keterampilan mereka yang bermacam-macam dan menyiapkan mereka dengan baik untuk melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi (Abuddin Nata, 2010: 130).
Kurikulum pendidikan Islam berfungsi sebagai pedoman yang digunakan oelh pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan tertinggi pendidikan Islam, melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap (Ramayulis, 20008: 152).

Komponen Kurikulum (A. Tafsir, 2008: 55)
Tujuan, mengarahkan atau menunjukkan sesuatu yang hendak dituju dalam proses belajar-mengajar.
Isi, materi proses belajar-mengajar, harus relevan dengan tujuan pengajaran yang telah dirumuskan.
Metode atau proses belajar-mengajar, kegiatan anak dan guru dalam proses belajar-mengajar untuk mencapai tujuan.
Evaluasi, kegiatan kurikuler berupa penilaian untuk mengetahui berapa persen tujuan dapat dicapai.

Asas dan Ciri-ciri Kurikulum Pendidikan Islam
a. Asas Kurikulum Pendidikan Islam
Menurut S. Nasution, asas kurikulum pendidikan Islam, yaitu (Abuddin Nata, 2010: 132):
Asas filosofis, berperan sebagai penentuan tujuan umum pendidikan.
Asas sosiologis, berperan memberikan dasar untuk menentukan apa saja yang akan dipelajari sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kebudayaan, perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Asas organisatoris, berfungsi memberikan dasar-dasar dalam penyusunan mata pelajaran, penentuan luas dan sempitnya uraian serta urutan dan susunan mata pelajaran.
Asas psikologis, berperan sebagai memberikan berbagai prinsip tentang perkembangan anak didik dalam berbagai aspeknya, serta menyampaikan bahan pelajaran agar dapat dicerna dan dikuasai oleh anak didik sesuai dengan perkembangannya.
b. Ciri-ciri Kurikulum Pendidikan Islam
Omar Mohammad al-Taomy al-Syaibany menyebutkan ada lima ciri kurikulum pendidikan Islam (Abuddin Nata, 2010: 133):
Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuannya. Kandungan, metode, alat, dan tekniknya bercorak agama.
Meluas cakupannya dan menyeluruh kandungannya, yaitu kurikulum yang betul-betul mencerminkan semangat, pemikiran, dan ajaran yang menyeluruh. Ia memperhatikan bimbingan dan pengembangan terhadap segala aspek pribadi pelajar dari segi intelektual, psikologis, sosial, spiritual.
Bersikap seimbang di antara berbagai ilmu yang dikandung dalam kurikulum yang akan digunakan. Juga seimbang antara pengetahuan yang berguna bagi pengembangan individual dan sosial.
Bersifat menyeluruh dalam menata seluruh mata pelajaran yang diperlukan oleh anak didik.
Kurikulum yang disusun selalu disesuaikan dengan minat dan bahkan anak didik.

Kerangka Dasar Kurikulum Pendidikan Islam (Ramayulis, 2008: 155-156)
Tauhid, sebagai kerangka dasar utama kurikulum harus dimantapkan semenjak masih bayi – dimulai dengan memperdengarkan kalimat-kalimat tauhid seperti azan atau iqamah terhadap anak yang baru dilahirkan.
Perintah membaca.

Prinsip Penyusunan Kurikulum (Ramayulis, 2008: 161-162)
Prinsip berasaskan Islam termasuk ajaran dan nilai-nilainya.
Prinsip mengarah kepada tujuan adalah seluruh aktivitas dalam kurikulum diarahkan untuk mencapai tujuan yang dirumuskan sebelumnya.
Prinsip (integritas) antara mata pelajaran, pengalaman-pengalaman, dan aktiviti yang terkandung di dalam kurikulum, juga tautan antara kandungan kurikulum dengan kebutuhan murid juga masyarakat.
Prinsip relevansi adalah adanya kesesuaian pendidikan dengan lingkungan hidup murid, relevansi dengan kehidupan masa sekarang dan akan datang, relevansi dengan tuntutan pekerjaan.
Prinsip fleksibilitas adalah terdapat ruang gerak yang memberikan sedikit kebebasan dalam bertindak, baik yang berorientasi pada pemilihan program pendidikan maupun mengembangkan program pengajaran.
Prinsip integritas adalah kurikulum tersebut dapat menghasilkan manusia seutuhnya, manusia yang mampu mengintegrasikan antara fakultas zikir dan pikir, serta manusia yang menyelaraskan struktur kehidupan dunia dan struktur kehidupan akhirat.
Prinsip efisiensi, adalah agar kurikulum dapat mendayagunakan waktu, tenaga, dana, dan sumber lain secara cermat cepat, memadai dan dapat memenuhi harapan.
Prinsip kontinuitas dan kemitraan adalah bagaimana susunan kurikulum yang terdiri dari bagian yang berkelanjutan dengan kaitan-kaitan kurikulum lainnya.
Prinsip individualitas adalah bagaimana kurikulum memperhatikan perbedaan pembawaan dan lingkungan anak pada umumnya yang meliputi seluruh aspek pribadi anak didik.
Prinsip kesamaan memperoleh kesempatan dan demokratis adalah bagaimana kurikulum dapat memberdayakan semua peserta didik memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap sangat diutamakan.
Prinsip kedinamisan, adalah agar kurikulum itu tidak statis, tetapi dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan sosial.
Prinsip keseimbangan adalah bagaimana kurikulum dapat mengembangkan sikap potensi peserta didik secara harmonis.
Prinsip efektifitas adalah agar kurikulum dapat menunjang efektifitas guru yang mengajar dan peserta didik yang belajar.

Klasifikasi Ilmu dalam Kurikulum Pendidikan Islam
Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kelompok ilmu, yaitu (Ramayulis, 2008: 162-163):
Ilmu yang tercela banyak atau sedikit, misalnya ilmu sihir nujum dan perdukunan.
Ilmu yang terpuji, banyak atau sedikit, misalnya ilmu tauhid, ilmu agama.
Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu yang tidak boleh dialami karena dapat emmbawa kepada kegoncangan iman, misalnya ilmu filsafat.
Dari segi kelompok ilmu tersebut, al-Ghazali membagi lagi menjadi dua kelompok dilihat dari kepentingannya, yaitu (Ramayulis, 2008: 163):
Ilmu yang fardhu (wajib) ‘ain yaitu ilmu untuk semua orang muslim yaitu agama.
Ilmu yang fardhu kifayah untuk dipelajari sebagian muslim. Ilmu ini ilmu yang dimanfaatkan untuk memudahkan urusan hidup duniawi, misalnya ilmu hitung, ilmu kedokteran, dan lain-lain.
Al-Ghazali mengusulkan beberapa ilmu pengetahuan yang harus dipelajari di sekolah sebagai berikut (Ramayulis, 2008: 163):
Ilmu-ilmu fardhu ‘ain yaitu al-Quran dan ilmu agama seperti fiqh, hadits dan tafsir.
Sekumpulan bahasa, nahwu dan makhraj serta kafadh-kafadhnya karena ilmu ini  berfungsi membantu ilmu agama.
Ilmu-ilm fardhu kifayah yaitu ilmu kedokteran, matematika, teknologi yang beraneka macam jenisnya, termasuk ilmu politik.
Ilmu kebudayaan seperti syair, sejarah dan beberapa cabang filsafat.

Orientasi Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum pendidikan Islam berorientasi kepada:
Orientasi pelestarian nilai, orientasi ini memfokuskan kurikulum sebagai alat untuk tercapainya “agent of conservative”.
Orientasi pada peserta didik, kurikulum harus memnuhi kebutuhan peserta didik yang disesuaikan dengan  bakat, minat, potensi yang dimilikinya, serta kebutuhan peserta didik.
Orientasi pada masa depan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Orientasi pada sosial demand, bagaimana memberikan kontribusi positif dalam perkembangan sosial dan kebutuhannya, sehingga out put mampu manjawab dan mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat.
Orientasi pada tenaga kerja, kurikulum pendidikan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan kerja.
Orientasi penciptaan lapangan kerja, kurikulum hendaknya dapat menciptakan peserta didik yang dapat membuat lapangan kerja baru yang dapat menyerap tenaga kerja terutama dirinya dan orang lain.


KAJIAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM 6 : PESERTA DIDIK


Hakikat Peserta Didik
Ramayulis (2008: 77) menjelaskan bahwa peserta didik secara formal adalah orang yang sedang berada pada fase pertumbuhan dan perkembangan baik secara fisik maupun psikis, pertumbuhan dan perkembangan merupakan ciri dari seorang peserta didik yang perlu bimbingan dari seorang pendidik.
Dalam Pasal 1 ayat 4 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Menurut Hasan Basri (2009: 88), dalam perspektif pendidikan Islam, hakikat anak didik terdiri dari beberapa macam:
  1. Anak didik adalah darah daging sendiri, orang tua adalah pendidik bagi anak-anaknya maka semua keturunannya menjadi anak didiknya di dalam keluarga;
  2. Anak didik adalah semua anak berada di bawah bimbingan pendidik di lembaga pendidikan formal maupun non formal, seperti di sekolah, pondik pesantren, pengajian di masyarakat, semuanya orang-orang yang menimba ilmu dipandang sebagai anak didik;
  3. Anak didik khusus adalah orang-orang yang belajar di lembaga pendidikan tertentu yang menerima bimbingan, pengarahan, nasihat, pembelajaran, dan berbagai hal yang berkaitan dengan proses kependidikan.

Dalam buku Filsafat Pendidikan Islam oleh Ahmad Tafsir (2010: 165), terdapat tiga sebutan untuk pelajar, yaitu:
1. Murid
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh kalangan sufi, yang berarti orang yang sedang belajar, menyucikan diri, dan sedang berjalan menuju Tuhan. Yang paling menonjol ialah kepatuhan murid pada gurunya. Hubungan guru dan murid adalah hubungan searah, dari subjek guru (mursyid) ke objek (murid), disebut pengajaran berpusat pada guru.
2. Anak Didik
Anak didik mengandung pengertian guru menyayangi murid seperti anaknya sendiri. Kasih sayang guru terhadap anak didik dianggap salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Dalam sebutan anak didik pengajarannya msih berpusat pada guru tapi tidak seketat pada guru-murid.
3. Peserta Didik
Istilah ini menekankan pentingnya murid berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Dalam sebutan ini akrivitas pelajar dalam proses pendidikan dianggap sebagai suatu kunci.

Kepribadian Peserta Didik
Allport mendefinisikan kepribadian adalah susunan yang dinamis di dalam sistem psiko-fisik (jasmani rohani) seorang (individu) yang menentukan perilaku dan pikirannya yang berciri khusus.
Fadhil Al-Djamaly menggambarkan kepribadian muslim sebagai muslim yang berbudaya, yang hidup bersama Allah dalam tingkah laku hidupnya, dan tanpa akhir ketinggiannya. Dengan kepribadian muslim harus mengembangkan dirinya dengan bimbingan petunjuk illahi, dalam rangka mengemban tugasnya khalifah Allah di muka bumi, dan selalu melaksanakan kewajiban sebagai hamba Allah melakukan pengabdian kepada-Nya.
Kepribadian muslim ada 2, yaitu:
1. Kepribadian kemanusiaan (basyariah)
    a. Kepribadian individu
    b. Kepribadian ummah
2. Kepribadian kewahyuan (samawi), yaitu corak kepribadian yang dibentuk melalui petunjuk wahyu dalam kitab suci al-Quran.

Adapun pembentukan kepribadian muslim adalah sebagai berikut:
1. Pembentukan Kepribadian Kemanusiaan
a.  Proses pembentukan kepribadian secara perseorangan
a). Pranatal Education (Tarbiyah Qabl al-Wiladah), prosesnya dilakukan secara tidak langsung (indirect). Berawal dari pemilihan calon suami/istri yang baik dan berakhlak mulia, sikap perilaku orang tua yang Islami saat bayi dalam kandungan serta pemberian makanan dan minuman yang halal.
b). Education by Another (Tarbiyah ma’aghairih), dilakukan secara langsung oleh orang lain (orang tua di rumah, guru di sekolah, pemimpin di masyarakat, dan para ulama). Proses ini di mulai sejak anak dilahirkan hingga dewasa baik jasmani maupun rohani.
c).  Self Education (Tarbiyah al-Nafs), dilakukan melalui kegiatan pribadi tanpa bantuan orang lain seperti membaca buku, koran, dan sebagainya, atau melalui penelitian untuk menemukan hakikat segala sesuatu. Menurut Muzayyin, self education timbul karena dorongan dari naluri kemanusiaan yang ingin mengetahui (couriosity).

b. Proses pembentukan kepribadian secara ummah
a). Tidak melakukan hal-hal yang keji dan tercela.
b). Membina hubungan tata tertib meliputi bersikap santun dalam pergaulan.
c). Mempererat hubungan kerja sama dengan cara meninggalkan perbuatan yang dapat merusak dasar kerja sama.
d). Menggalakkan perbuatan-perbuatan terpuji yang memberi dampak positif kepada masyarakat

2. Pembentukan Kepribadian Samawi
Menurut Jalaluddin proses pembentukan kepribadian ini dapat dilakukan dengan cara membina nilai-nilai ke Islaman dalam hubungan dengan Allah SWT, yang dapat dilakukan dengan cara:
a. Beriman kepada Allah SWT.
b. Mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
c. Bertaqwa kepada-Nya.
d. Mensyukuri nikmat Allah dan tidak berputus harapan terhadap rahmat-Nya.
e. Berdoa kepada Tuhan selalu, mensucikan dan membesarkan-Nya dan selalu mengingat Allah.
f. Menggantungkan segla perbuatan masa depan kepada-Nya.
g. Mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi kecintaan kepada yang lain (Ramayulis, 2008: 110- 118).

Kebutuhan Peserta Didik
Banyak kebutuhan peserta didik yang harus dipenuhi oleh pendidik, yaitu (Ramayulis, 2008: 78-80) :
a. Kebutuhan Fisik
Peserta didik mengalami perubahan fisik yang cepat terutama pada masa pubertas. Kebutuhan biologis seperti makan, minim dan istirahan harus diperhatikan. Dengan adanya kebiasaan hidup sehat dapat membantu menjaga kesehatan pertumbuhan tubuh peserta kelompok. Informasi ini sangat diperlukan terutama bagi peserta didik yang berada pada masa pubertas.
b. Kebutuhan Sosial
Kebutuhan sosial yaitu kebutuhan yang berhubungan langsung dengan masyarakat agar peserta didik dapat berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya.
Kebutuhan untuk Mendapatkan Status
Peserta didik terutama pada usia remaja membutuhkan suatu yang menjadikan dirinya berguna bagi masyarakat. Peserta didik butuh kebanggaan untuk diterima dan dikenal sebagai individu yang berarti baik bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, maupun dalam kelompok teman sebayanya, karena hal ini penting dalam mencari identitas diri dan kemandirian.
Kebutuhan Mandiri
Peserta didik pada usia remaja ingin lepas dari batasan atau aturan orang tuanya dan mencoba untuk mengarahkan dan mendisiplinkan dirinya sendiri.
Kebutuhan untuk Berprestasi
Kebutuhan ini erat kaitannya dengan kebutuhan mendapat status dan mandiri. Artinya dengan terpenuhinya kebutuhan untuk memiliki status atau penghargaan dan kebutuhan untuk hidup mandiri dapat membuat peserta didik giat untuk mengejar prestasi.
Kebutuhan ingin Disayangi dan Dicintai
Rasa ingin disayangi dan dicintai merupakan kebutuhan yang esensial, karena dengan terpenuhinya kebutuhan ini akan mempengaruhi sikap mental peserta didik.
Kebutuhan untuk Curhat
Kebutuhan untuk curhat dimaksudkan untuk dipahami ide-ide dan permasalahan yang dihadapinya. Jika mereka tidak dapat kesempatan untuk mengkomunikasikan permasalahannya, apalagi jika dilecehkan, ditolak, atau dimusuhi, dapat membuat mereka marah, kecewa, sehingga muncul perilaku negatif. 
Kebutuhan untuk Memiliki Filsafat Hidup (Agama)
Peserta didik pada masa pubertas mulai tertarik untuk mengetahui tentang kebenaran, tujuan hidup, dan bagaimana kebahagiaan diperoleh. Karena itu mereka membutuhkan pengetahuan yang jelas sebagai suatu filsafat hidup yang sesuai dengan nilai kemanusiaan yang bisa digunakan sebagai pedoman dalam mengarungi kehidupan. Oleh karena itu peserta didik sangat membutuhkan agama.



Sunday, June 21, 2015

KAJIAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM 5 : PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM


A.    Pengertian Pendidik
Pendidik dalam Islam ialah siapapun yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam yang paling bertanggung jawab adalah orang tua anak didik. Tugas pendidik dalam pandangan Islam ialah mendidik, yaitu mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi psikomotor, kognitif, maupun afektif (Ahmad Tafsir, 2008: 74).

Dalam Kamus Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa, pendidik adalah orang yang mendidik. Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani maupun rohani, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT, dan mampu melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan makhluk individu yang mandiri. Pendidik mencakup guru, dosen, dan guru besar.
Di dalam al-Quran dan as-Sunnah, terdapat sejumlah istilah yang mengacu kepada pengertian pendidik, yaitu:
  1. Al-Murabbi diartikan sebagai pendidik. Kosakatanya masih jarang digunakan. Terdapat dalam QS. Al-Isra’: 24.
  2. Al-Mu’allim diartikan sebagai pengajar, yakni memberi informasi tentang kebenaran dan ilmu pengetahuan. Terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 151.
  3. Al-Muzakki diartikan sebagai orang yang melakukan pembinaan mental dan karakter yang mulia, dengan cara membersihkan si anak dari pengaruh akhlak yang buruk, terampil dalam mengendalikan hawa nafsu. Terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 129 dan QS. Ali ‘Imran: 164.
  4. Al-Ulama menggambarkan sebagai orang yang paling takut (bertakwa) kepada Allah dan mendalami ilmu agama, juga sebagai seorang peneliti (researcher) dan scientist, yalni sebgai seorang peneliti yang menghasilkan berbagai temuan dalam berbagai ilmu agama, memiliki kharisma, akhlak mulia, dan kepribadian yang shaleh.
  5. Ulul al-bab diartikan bukan hanya seorang yang memiliki daya pikir dan daya nalar, melainkan juga daya zikir dan spiritual. Kedua daya ini digunakan secara optomal dan saling melengkapi sehingga menggambarkan keseimbangan antara kekuatan penguasaan ilmu pengetahuan (sain) dan terhadap ajaran-ajaran agama dan nilai-nilai spiritualitas seperti keimanan, ketakwaan, dan sebagainya (Abudin Nata, 2010: 159-164).

Secara terminologi, pendidik menurut Moh. Fadhil al-Djamil menyebutkan, bahwa pendidik adalah orang yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik sehingga terangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia. Marimba mengatakan pendidik sebagai orang yang memikul pertanggung-jawaban sebagai pendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya bertanggung jawab tentang pendidikan peserta didik. Zakiah Darajat mengatakan bahwa pendidik adalah individu yang akan memenuhi kebutuhan pengetahuan, sikap dan tingkah laku peserta didik (Ramayulis, 2008: 58).


B.     Syarat-syarat menjadi Tenaga Pendidik
Muhammad Athiyah Al-Abrasyi berpendapat, bahwa seorang pendidik harus (Abuddin Nata, 2010: 169) :
  1. Mempunyai watak kebapakan sebelum menjadi seorang pendidik, sehingga ia menyayangi peserta didik seperti menyayangi anaknya.
  2. Adanya komunikasi yang aktif antara pendidik dan peserta didik.
  3. Memperhatikan kemampuan dan kondisi peserta didiknya.
  4. Mengetahui kepentingan bersama, tidak terfokus pada sebagian peserta didik saja.
  5. Mempunyai sifat-sifat keadilan, kesucian, dan kesempurnaan.
  6. Ikhlas dalam menjalankan aktivitasnya.
  7. Dalam mengajar selalu mengaitkan materi yang diajarkan dengan materi lainnya.

Memberi bekal kepada peserta didik dengan bekal ilmu yang dibutuhkan masa depan.
Sehat jasmani dan rohani serta mempunyai kepribadian yang kuat, tanggung jawab, dan mampu mengatasi problem peserta didik, serta mempunyai rencana yang matang untuk menatap masa depan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.


C.    Jenis Pendidik
  1. Allah SWT sebagai pendidik mengetahui segala kebutuhan orang yang dididiknya sebab Dia adalah Zat Pencipta. Ayat al-Quran yang menegaskan tentang ha ini ialah QS. Al-Fatihah: 1 dan QS. Al-Baqarah.
  2. Nabi Muhammad SAW mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai mualim (pendidik). Sebagai penerima wahyu al-Quran yang bertugas menyampaikan petunjuk-petunjuk kepada seluruh umat Islam yang dilanjutkan dengan mengajarkan kepada manusia. Ini menegaskan bahwa kedudukan Nabi sebagai pendidik ditunjuk langsung oleh Allah SWT.
  3. Orang Tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga.
  4. Guru sebagai pendidik di lembaga pendidikan persekolahan (Ramayulis, 2008: 59).


D.    Keutamaan Pendidik
  1. Dalam ajaran Islam, pendidik sangatlah dihargai kedudukannya. Hal ini dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya.
  2. Firman Allah SWT, “Allah meningkatkan derajat orang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mursalat: 11)
  3. Sabda Rasulullah SAW, “Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
  4. Sabda Rasulullah SAW, “Tinta para ulama lebih tinggi nilainya dari pada darah para shuhada.” (HR. Abu Daud Tirmidzi)
  5. Firman Allah dan sabda Rasul tersebut menggambarkan tingginya kedudukan orang yang mempunyai ilmu pengetahuan (pengetahuan).
  6. Al-Ghazali mengkhususkan guru dengan sifat-sifat kesucian dan kehormatan dan menempatkan guru langsung sesudah kedudukan Nabi. Al-Ghazali menyatakan: “Seseorang yang berilmu dan kemudian mengamalkannya dialah yang disebut dengan orang besar di semua kerajaan langit, dia bagaikan matahari yang menerangi alam sedangkan dia mempunyai cahaya dalam dirinya, seperti minyak kasturi yang mengharumi orang lain karena ia harum. Seseorang yang menyibukkan dirinya dalam mengajar berarti dia telah memilih pekerjaan yang terhormat. Oleh karena itu, hendaklah seseorang guru memperhatikan dan memelihara adab dan sopan santun dalam tugasnya sebagai seorang pendidik  (Ramayulis, 2008: 60-62).


E.  Tugas, Tanggung Jawab, dan Hak Pendidik
1.    Tugas Pendidik
a.    Tugas secara umum, yaitu sebagai “warasat al-anbiya” yang mengemban misi rahmat lil al-alamin, yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah, guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Selain itu, tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan hati manusia untuk bertaqarrub kepada Allah.

b.    Tugas secara khusus, yaitu:
  1. Sebagai pengajar (instruksional), bertugas merencanakan program pengajaran, melaksanakannya, dan penilaian setelah program dilaksanakan.
  2. Sebagai pendidik (edukator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian insan kamil
  3. Sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin dan mengendalikan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait.
2.    Tanggung Jawab Pendidik
Tanggung jawab menurut Abd al-Rahman al-Nahlawi adalah mendidik individu supaya beriman kepada Allah dan melaksanakan syari’at-Nya, mendidik diri supaya beramal shaleh, dan mendidik masyarakat untuk saling menasehati dalam melaksanakan kebenaran, saling menasehati agar tabah dalam menghadapi kesusahan beribadah kepada Allah serta menegakkan kebenaran.

3.    Hak Pendidik
a.    Gaji
b.    Mendapatkan penghargaan (Ramayulis, 2008: 63-66).

F.   Kode Etik Pendidik
Menurut Basuni Ketua Umum PGRI tahun 1973 bahwa Kode Etik Guru Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku guru warga PGRI dalam melaksanakan panggilan pengabdiannya bekerja sebagai guru.
Kode etik pendidik dalam pendidikan Islam menurut al-Kanani, bahwa persyaratan seorang pendidik ada tiga macam, yaitu:
1.    Syarat-syarat guru berhubungan dengan dirinya sendiri
2.    Syarat-syarat yang berhubungan dengan pelajaran (syarat paedagogis diktatis)
3.    Kode etik guru di tengah-tengah para muridnya (Ramayulis, 2008: 69).

G. Peran Pendidik
Berdasarkan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 129, al-Nahlawi menyimpulkan bahwa tugas utama (peran utama) guru dalam pendidikan Islam adalah:
1.    Tugas pensucian. Guru hendaknya mengemban dan membersihkan jiwa peserta didik agar dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT, menjauhkan dari keburukan, dan menjaganya agar tetap berada pada fitrahnya.
2.    Tugas pengajaran. Guru hendaknya menyampaikan berbagai pengetahuan dan pengalaman kepada peserta didik untuk diterjemahkan ke dalam tingkah laku dan kehidupannya (Ramayulis, 2008: 75).



KAJIAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM 4 : PERBEDAAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM, BARAT, DAN NASIONAL


1.        Perbedaan Tujuan Pendidikan Islam dengan Tujuan Pendidikan Barat
Islam dan Barat memiliki pandangan berbeda mengenai pendidikan. Paham rasionalisme empirisme, humanisme, kapitalisme, eksistensialisme, relatifisme, atheisme, dan lainnya yang berkembang di Barat dijadikan dasar pijakan bagi konsep-konsep pendidikan Barat. Ini jauh berbeda dengan Islam yang memiliki al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad para ulama sebagai konsep pendidikannya. Hal inilah yang membedakan ciri pendidikan yang ada di Barat dengan pendidikan Islam. Masing-masing peradaban ini memiliki karakter yang berbeda sehingga out put yang ‘dihasilkan’ pun berbeda.

Secara universal, tujuan pendidikan Islam adalah bahwa pendidikan harus ditujukan untuk menciptakan keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia secara menyeluruh dengan cara melatih jiwa, akal pikiran, perasaan, dan fisik manusia. Dengan demikian pendidikan harus mengupayakan tumbuhnya seluruh potensi manusia, baik yang bersifat spiritual, intelektual, daya khayal, fisik, ilmu pengetahuan, maupun bahasa, baik secara perorangan maupun kelompok, dan mendorong tumbuhnya seluruh aspek tersebut agar mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan terletak pada terlaksananya pengabdian yang penuh kepada Allah, baik pada tingkat seseorang, kelompok maupun kemanusiaan dalam arti yang seluas-luasnya. (Abuddin Nata, 2010: 62).

Menurut Syed Naquib al-Attas, ilmu dalam peradaban Barat tidak dibangun di atas wahyu dan kepercayaan agama namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan serta nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah . Sehingga dari cara pandang yang seperti inilah pada akhirnya akan melahirkan ilmu-ilmu sekular. Jika pendidikan barat hanya menghasilkan ilmu-ilmu sekular yang cenderung menjauhkan manusia dengan agamanya, maka pendidikan Islam justru mampu membangunkan pemikiran dan keseimbangan antara aspek rohani dan jasmani pribadi muslim yang akan menambahkan lagi keimanannya kepada Allah SWT Orientasi keakhiratan X Orientasi kesekuleran.
  1. Berupaya mencapai sosialisasi ke dalam Islam X Berupaya mencapai perkembangan individu.
  2. Kurikulum tidak berubah sejak abad pertengahan X Kurikulum merespon perubahan-perubahan berkenaan dengan bidang studi.
  3. Pengetahuan berdasarkan pada wahyu dan tidak dipersoalkan X Pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dan deduksi.
  4. Pengetahuan dicari dan diperoleh berdasarkan pada perintah Tuhan X Pengetahuan diperlukan sebagai alat untuk menyelesaikan masalah.
  5. Mendiskusikan moralitas dan asumsi-asumsi tidak dikehendaki X Mendiskusikan moralitas dan asumsi-asumsi disambut baik.
  6. Metode dan teknik mengajar pada dasarnya otoriter X Metode dan teknik mengajar student-center.
  7. Penghapalan dianggap sangat menentukan X Pencerapan konsep-konsep kunci dianggap menentukan.
  8. Mental mahasiswa dianggap pasif-reseptif X Mental mahasisswa dianggap aktif-produktif.
  9. Pendidikan secara umum tidak dispesialisasikan X Pendidikan dispesialisasikan.

2.    Perbedaan Tujuan Pendidikan Islam dengan Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan nasional terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebgai berikut:

Membentuk manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi, keterampilan, sehat jasmani dan rohani, memiliki rasa seni, serta bertanggung jawab bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Dalam rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut mengandung nilai-nilai ajaran Islam yang terobjektivasi, yakni ajaran Islam yang telah mentransformasi ke dalam nilai-nilai yang disepakati dalam kehidupan nasional (Abuddin Nata, 2010: 64). Namun, tujuan tersebut tidak seluas dan spesifik seperti tujuan pendidikan Islam. Tujuan pendidikan nasional orientasinya hanya di masyarakat, bangsa, negara dan dunia saja sedangkan tujuan pendidikan Islam mencakup semua hal di dunia dan juga di akhirat.