Oleh : Rijal Jauhari Syahrulloh
Sebuah negara dengan peradaban yang
maju, merupakan gambaran dari pendidikan di negara tersebut. Sering saya
mendapat candaan tentang otak orang Indonesia jika di jual itu harganya sangat
mahal, karena free space nya
masih banyak alias jarang digunakan. Sebagai orang Indonesia, saya sedih
dikatai seperti itu oleh se-bangsa se-tanah air. Contoh lain, jika berbicara
tentang Romeo dan Juliet, pasti orang tahu itu karya William Shakespeare. Tapi
jika ditanya apa saja karya Shakespeare? Tak banyak yang tahu. Padahal karya
Shakespeare bukan hanya itu. Contoh yang lebih dekat, jika ditanya tentang
sastrawan Indonesia, dua nama sering disebut, adalah Chairil Anwar dan W.S.
Rendra. Padahal sastrawan bukan hanya mereka.Bisa jadi itu merupakan indikator
bahwa minat membaca akan ilmu pengetahuan di Indonesia masih sangat rendah.
World Education Ranking atau
peringkat pendidikan dunia yang diterbitkan oleh Organisation for Economic
Co-operation and Development (OECD) menentukan, di posisi mana suatu negara
maju dalam segi pendidikan. Pada tahun 2016 Indonesia menempati posisi ke-60
dari 61 negara peserta Program for International Student Assessment (PISA). PISA
merupakan program yang memungkinkan para pembuat kebijakan untuk menilai
perbedaan sistem pendidikan di berbagai negara.
Jika kita melihat lingkungan di
sekitar kita, di era teknologi canggih ini, dari pada memegang buku,
orang-orang lebih asik memegang gadgetnya. Sangat jarang jika kita melihat di
jalan, di angkutan kota, di kereta, di boncengan motor, yang menjadi daya tarik
bagi orang-orang khususnya anak-anak kita bukanlah lagi buku, namun HP dan
Tablet. Berangkat dari fenomena di atas dan mengingat pendidikan merupakan
“agent of change” yang merupakan kebutuhan penting bagi kemajuan peradaban
manusia di setiap negara, maka sudah sepantasnya Indonesia memperhatikan posisinya
dalam hal pendidikan dan move on untuk meningkatkan kualitasnya,
terutama dari minat membacanya karena kemauan membaca merupakan hal yang paling
mendasar agar manusia cinta dan haus akan ilmu pengetahuan.
Literasi merupakan sesuatu yang
berkaitan dengan membaca dan menulis. Namun tidak hanya sebatas membaca dan
menulis, literasi juga perlu ditunjang dengan internaslisasi dari apa yang
dibaca dan ditulisnya. Semua orang tahu bahwa lampu merah di persimpangan jalan
merupakan tanda berhenti, lampu kuning adalah tanda untuk berhati-hati, dan
lampu hijau adalah tanda untuk berjalan. Pada kenyataannya, tidak sedikit para
pegendara yang melanggar rambu lalu lintas, menerobos lampu merah, mobil yang
berhenti di Ruang Henti Kendaraan (RHK) yang diperuntukkan untuk motor, dan
motor yang berjalan di trotoar atau di jalur sepeda. Itu menunjukkan bahwa para
pengendara tersebut belum literat karena tidak mengimplementasikan apa yang
sudah mereka pahami.
Membaca bukan hanya berbicara
tentang ilmu pengetahuan saja. Di atas telah disinggung mengenai bangsa
Indonesia masih rendah minat bacanya terhadap ilmu pengetahuan. Alasan orang
membaca bisa karena membaca obrolan di grup WA, BBM, Line dan Instagram. Ada juga
yang membaca tentang berita hiburan. Oleh karena itu, perlu rangsangan untuk
penerus bangsa agar mau membaca karena ingin menambah dan mengenal lebih jauh
ilmu pengetahuan.
Membudayakan membaca, membudayakan
menulis tentu membutuhkan proses yang tidak mudah. Tidak semudah membiasakan
anak-anak kita bermain game, atau menyuruh mereka pergi ke warnet. Membiasakan
agar anak-anak membaca perlu usaha ekstra. Saat ini gerakan literasi sudah
mulai dikembangkan oleh pemerintah Indonesia. Sinyal yang bagus melihat sikap
pemerintah dalam menanggapi persoalan minat baca bangsa Indonesia. Dalam
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan
Budi Pekerti, pemerintah mengembangkan gerakan literasi di sekolah dengan
tujuan untuk memotivasi dan menggerakkan agar anak-anak kita di sekolah mau
membaca dan menulis guna menumbuhkan budi pekerti. Di berbagai sekolah sudah
mulai menjalankan gerakan ini dengan berbagai metode dan strategi. Berbagai
pendekatan bisa dilakukan untuk menumbuhkan minta baca anak-anak dan masyarakat
di sekitar lingkungan kita.
Dekati apa yang mereka suka; ketahui apa
yang sedang diminati oleh anak-anak kita pada saat ini. Biasanya anak-anak pada
usia remaja lebih menyukai film-film yang mengisahkan tentang kehidupan remaja,
atau juga cerita-cerita fantasi yang menghibur. Jika di lingkungan masyarakat,
bukan memaksakan kehendak melainkan pintar-pintar pula apa yang diminati oleh
masyarakat.
Suguhkan sesuatu yang mudah; berikan ide
atau gagasan, atau suguhkan bacaan yang mudah dicerna dan difahami sesuai
dengan usia anak-anak kita. Misalkan untuk usia SD mungkin belum pas jika
bacaan mereka buku Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle. Anak akan
bosan kabukan karena ceritanya tidak selesai-selesai seperti sinetron di
televisi melainkan karena mereka belum bisa memahami isi cerita dalam buku itu
karena memeang buku itu bukan diperuntukkan untuk anak-anak seusia mereka.
Membaca itu tidak mahal; Tanamkan
pemahaman bahwa untuk membaca itu tidak perlu biaya yang mahal sehingga
anak-anak mulai senang dengan membaca karena mereka membaca apa yang mereka
suka dan mudah untuk dibaca serta dipahami.
Tentunya banyak cara untuk
merangsang anak-anak bangsa ini untuk mau membaca buku khususnya ilmu
pengetahuan. Tantangan memang luar biasa adanya. Televisi sudah menyita waktu
masyarakat kita. Penumbuhan budaya literasi ini tak hanya menjadi tanggung
jawab pemerintah. Namun juga, tanggung jawab bersama masyarakat. upaya sosialisasi
secara serius dan kontinyu harus terus digalakkan dengan upaya dari berbagai
pihak. Salah satunya kita bisa mulai dari sekolah, tempat yang paling
memungkinkan mudah memulai gerakan membangun budaya literasi sebagai budaya
mencerdaskan bangsa Indonesia dengan mengenalkan berbagai buku yang menarik
minat baca mereka.
Segala sesuatunya tentu berangkat
dulu dari diri sendiri. Para pendidiknya terlebih dahulu yang harus menjadi
teladan mencintai buku dan lebih banyak membaca buku dari pada para siswanya.
Lagi-lagi ini sebuah tantangan. Jika para gurunya sudah terlihat banyak membaca,
maka para siswa pun akan meniru dan mau banyak membaca. Harapan ke depan bangsa
kita menjadikan membaca itu seperti kebutuhan primer yang akan merasa
kekurangan jika hal itu terlewatkan. Untuk mengakhiri tulisan ini, mari kita
sama-sama berjuang menanamkan budaya literasi, budaya yang mencerdaskan bangsa.
0 komentar:
Post a Comment