Merupakan suatu kewajiban bagi kita untuk menuntut
ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah agar kita dapat meghindari dan menolak
syubhat di dalam memahami dien Islam ini. Telah kita sepakati bersama bahwa
hanya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah kita dapat selamat dan tidak akan
tersesat.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ
تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا، كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ.
“Aku tinggalkan pada
kalian dua perkara, jika kalian berpegang teguh dengan keduanya kalian tidak
akan sesat selama-lamanya yaitu: Kitabullah dan sunnah NabiNya”. (Hadist
Riwayat Malik secara mursal (Al-Muwatha, juz 2, hal. 999).
Syaikh Al-Albani mengatakan dalam bukunya At-Tawashshul
anwa’uhu wa ahkamuhu, Imam Malik meriwayatkan secara mursal, dan Al-Hakim
dari Hadits Ibnu Abbas dan sanadnya hasan, juga hadist ini mempunyai syahid
dari hadits jabir telah saya takhrij dalam Silsilah Ahadits As-Shahihah
no. 1761).
Adakah pilihan lain agar kita termasuk dalam
orang-orang yang selamat dan agar umat Islam ini memperoleh kejayaan lagi
selain mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman para Salafus
Shalih? tentu tidak ada, karena sebenar-benar ucapan adalah Kalamullah,
sebaik-baik petunjuk adalah sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan
sebaik-baik generasi adalah generasi sahabat yang telah Allah puji dan Allah
ridhai.
Kebanyakan ummat Islam, kini terjebak dalam taklid
buta. Terkadang suatu anjuran untuk mengikuti dan berpegang teguh pada
Al-Qur’an dan sunnah serta memalingkan jiwa dari selain keduanya dianggap
sebagai seruan yang mengajak kepada pelecehan pendapat para ulama dan
menghalangi untuk mengikuti jejak para ulama atau mengajak untuk menyerang
perkataan mereka. Padahal tidak demikian yang dimaksudkan, bahkan harus
dibedakan antara mengikuti Nabi semata dengan pelecehan terhadap pendapat para
ulama. Kita tidak boleh mengutamakan pendapat seseorang di atas apa yang telah
dibawa oleh beliau dan tidak juga pemikirannya, siapapun orang tersebut.
Apabila seseorang datang kepada kita membawakan suatu hadits, maka hal pertama
yang harus kita perhatikan adalah keshahihan hadits tersebut kemudian yang
kedua adalah maknanya. Jika sudah shahih dan jelas maknanya maka tidak boleh
berpaling dari hadits tersebut walaupun orang disekeliling kita menyalahi kita,
selama penerapannya juga benar.
Firman Allah dalam surat 7 ayat 3:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat
sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padaNya).”
Kemudian salah satu penyakit umat Islam sekarang
ini disamping taklid buta adalah banyaknya para pelaku bid’ah. Dan di antara
sebab-sebab yang membawa terjadinya bid’ah adalah:
1. Bodoh tentang hukum agama dan sumber-sumbernya
Adapun sumber-sumber hukum Islam adalah Kitabullah, sunnah RasulNya dan ijma’
dan Qiyas. Setiap kali zaman berjalan dan manusia bertambah
jauh dari ilmu yang haq, maka semakin sedikit ilmu dan tersebarlah kebodohan.
Maka tidak ada yang mampu untuk menentang dan melawan bi’dah kecuali ilmu dan
ulama. Apabila ilmu dan ulama telah tiada dengan wafatnya mereka, bi’dah akan
mendapatkan kesempatan dan berpeluang besar untuk muncul dan berjaya dan
tokoh-tokoh bid’ah bertebaran menyeret umat ke jalan sesat.
2. Mengikuti hawa nafsu dalam masalah hukum
Yaitu menjadikan hawa nafsu sebagai sumber
segalanya dengan menyeret/membawa dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk
mendukungnya, dalil-dalil tersebut dihukumi dengan hawa nafsunya. Ini adalah
perusakan terhadap syari’at dan tujuannya.
“Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah-nya dan
Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmuNya dan Allah telah mengunci mati
pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka
siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiar-kan sesat) ...”
(Al-Jatsiyah: 23).
3. Fanatik buta terhadap pemikiran-pemikiran orang
tertentu
Fanatik buta terhadap pemikiran orang-orang
tertentu akan memisahkan antara seorang muslim dari dalil dan al-haq. Inilah
keadaan orang-orang yang fanatik buta pada zaman kita sekarang ini, Mayoritas
terdiri dari pengikut sebagian madzhab-madzab, sufiyyah dan quburiyyun
(penyembah-penyembah kuburan), yang apabila mereka diseru untuk mengikuti
Al-Kitab dan As-Sunnah, mereka menolaknya. Dan mereka juga menolak apa-apa yang
menyelisihi pendapat mereka. Mereka berhujah dengan madzab-madzab,
syaikh-syaikh, kiyai-kiyai, bapak-bapak nenek moyang mereka. Ini adalah pintu
dari sekian banyak pintu-pintu masuknya bid’ah ke dalam agama Islam ini.
4. Ghuluw (berlebih-lebihan)
Contoh dari point ini adalah madzab khawarij dan
syi’ah. Adapun khawarij, mereka ghuluw berlebihan dalam memahami
ayat-ayat peringatan dan ancaman. Mereka berpaling dari ayat-ayat raja’
(pengharapan), janji pengampunan dan taubat sebagaimana Allah Subhannahu wa
Ta'ala berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa
syirik, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendakiNya ...” (An-Nisa’: 48,116).
5. Tasyabuh dengan kaum kuffar
Tasyabbuh (menyerupai) kaum kuffar adalah sebab yang paling menonjol terjatuhnya
seorang kedalam bid’ah. Hal ini pulalah yang terjadi di zaman kita sekarang
ini. Karena mayoritas dari kalangan kaum Muslimin taqlid kepada kaum
kuffar pada amal-amal bid’ah dan syirik. Seperti perayaan-perayaan ulang tahun
(maulid) dan mengadakan hari-hari atau minggu-minggu khusus dan perayaan serta
peringatan bersejarah (menurut anggapan mereka) seperti: peringatan Maulid
Nabi. Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an dan yang lainnya adalah meyerupai
peringatan-peringatan kaum kuffar.
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ
مِنْهُمْ.
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk mereka”. (Abu Dawud).
6. Menolak bid’ah dengan bid’ah yang semisalnya
atau bahkan yang lebih rusak
Contohnya ialah kaum Murji’ah, Mu’tazilah,
Musyabibhah dan Jahmiyyah. Kaum Murji’ah memulai bid’ahnya dalam mensikapi
orang-orang yang dizamannya, mereka berkata: “Kita tidak menghakimi mereka dan
kita kembalikan urusannya kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala ”. Hingga akhirnya
mereka sampai pada pendapat bahwa maksiat tidak me-mudharat-kan iman,
sebagaimana tidak berfaedah ketaatan
yang disertai kekufuran. Al-Baghdadi berkata: “Mereka dinamakan Murji’ah karena
mereka memisahkan amal dari keimanan.”
Demikianlah, para ahlul bid’ah menjadikan
kebid’ahan-kebid’ahan yang mereka lakukan sebagai satu amalan ataupun suatu
sunnah, sedangkan yang benar-benar sunnah mereka jauhi. Padahal sesungguhnya
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa mengajarkan suatu amalan yang
tidak ada keterangannya dari
kami (Rasulullah), maka dia itu tertolak.” (Hadist riwayat Muslim).
Oleh karena itu jika kita mempelajari seluk beluk
taqlid, kemudian kita pelajari hakekat kebid’ahan niscaya kita tahu bahwa
ternyata antara bid’ah dan taqlid mempunyai hubungan yang sangat erat sekali.
Jika kita perhatikan perbuatan bid’ah niscaya kita akan mengetahui bahwa
pelakunya adalah seorang muqallid. Dan kalau kita melihat seorang muqallid,
niscaya kita lihat bahwa dia tenggelam dalam kebid’ahan, kecuali bagi mereka
yang dirahmati oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Berikut ini ada beberapa sebab yang
menunjukkan bahwa taqlid itu mempunyai hubungan yang erat dengan bid’ah.
Muqallid tidak bersandar dengan dalil dan tidak
mau melihat dalil; jika dia bersandar pada dalil, maka dia tidak lagi dinamakan
muqallid. Demikian pula mubtadi’, diapun dalam melakukan
kebid’ahan tidak berpegang dengan dalil karena kalau berpegang dengan dalil
maka ia tidak lagi dinamakan dengan mubtadi’ karena asal bid’ah adalah
mengadakan sesuatu hal yang baru tanpa dalil atau nash.
Taqlid dan bid’ah adalah tempat ketergelinciran
yang sangat berbahaya yang menyimpangkan seseorang dari agama dan aqidah.
Karena dua hal tersebut akan menjauhkan pelakunya dari nash Al-Qur’an dan
As-Sunnah yang merupakan sumber kebenaran.
Taqlid dan bid’ah merupakan sebab utama
tersesatnya umat terdahulu. Allah Subhannahu wa Ta'ala menceritakan dalam
Al-Qur’an tentang Bani Isra’il yang meminta Musa Alaihissalam untuk menjadikan
bagi mereka satu ilah dari berhala, karena taqlid kepada para penyembah berhala
yang pernah mereka lewati.
FirmanNya:
“Dan kami seberangkan Bani Israil keseberang
lautan itu, maka setelah mereka sampai pada satu kaum yang telah menyembah
berhala mereka, Bani Israil berkata: “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah
(berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)!. Musa menjawab:
“Sesungguhnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Ilah)!
“sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan
batal apa yang selalu mereka kerjakan.” (Al- A’raf: 138-139).
Sekalipun Nabi Musa Alaihissalam melarang dan
mencerca mereka dan mereka mengetahui bahwa arca itu hanyalah bebatuan yang
tidak memberi manfaat dan mudlarat, tetapi mereka tetap membikin patung anak
sapi dan menyembahnya.
Hal ini disebabkan karena taqlid yang sudah
menimpa diri mereka. Ayat ini sangat jelas menunjukkan bahaya taqlid dan
hubungannya yang sangat erat dengan kebid’ahan bahkan dengan kesyirikan dan
kekufuran. Hal inilah yang merupakan sebab kesesatan Bani Isra’il dan umat
lainnya, termasuk sebagian besar ummat Muhammad Shallallaahu alaihi wa Salam .
Bagaimana cara kita untuk keluar dari bid’ah ini
Jalan keluar dari bid’ah ini telah di gariskan
oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dalam banyak hadits. Dan satu di
antaranya adalah berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman
para Salafus Shahih, , karena mereka adalah orang yang paling besar
cintanya kepada Allah dan RasulNya, paling kuat ittiba’nya, paling dalam
ilmunya, dan paling luas pemahamannya terhadap dua wahyu yang mulia tersebut.
Dengan cara ini seorang muslim mampu berpegang teguh dengan agamanya dan bebas
dari kotoran yang mencemari dan terhindar dari semua kebid’ahan yang
menyesatkan.
Mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan taufiq
dan hidayahNya kepada kita semua dan kepada saudara-saudara kita yang
terjerumus dan bergelimang di dalam kebid’ahan. Mudah-mudahan pula Allah
menambah ilmu kita, menganugrahkan kekuatan iman dan takwa untuk bisa tetap
istiqomah di atas manhaj yang hak dan menjalani sisa hidup di jaman yang penuh
fitnah ini dengan bimbingan syari’at yang dibawa oleh Muhammad Shallallaahu
alaihi wa Salam, sampai kita bertemu Allah dengan membawa bekal husnul
khatimah.
0 komentar:
Post a Comment