A.
PENGERTIAN ‘URF
'Urf ialah
sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan
mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh,
'urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah tidak
ada perbedaan antara 'urf dengan adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam
pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian antara 'urf dengan
adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum
dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal oleh
masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah
merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
singkatnya, Urf adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat
dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan
dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.
B.
MACAM-MACAM 'URF
'Urf dapat dibagi atas beberapa bagian. Ditinjau
dari segi sifatnya, diterma atau tidaknya, dan ruang lingkup berlakunya.
Ditinjau dari segi sifatnya, 'Urf terbagi kepada:
a. 'Urf qauli
Ialah 'rf yang berupa perkataan' seperti perkataan
walad, menurut bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan
anak perempuan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan dengan anak
laki-laki saja. Lahmun, menurut bahasa berarti daging termasuk di dalamnya
segala macam daging, seperti daging binatang darat dan ikan Tetapi dalam
percakapan sehari-hari hanya berarti binatang darat saja tidak termasuk di
dalamnya daging binatang air (ikan).
b. 'Urf amali
Ialah 'urf yang berupa perbuatan. Seperti jual beli
dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad jual beli. Padahal menurut
syara', shighat jual beli itu merupakan salah satu rukun jual beli. Tetapi
karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat melakukan jua beli tanpa
shighat jual beli dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka syara'
membolehkannya.
Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya 'urf,
terbagi atas:
a. 'Urf shahih
Ialah 'urf yang baik dan dapat diterima karena
tidak bertentangan dengan syara'. Seperti mengadakan pertunangan sebelum
melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam
masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara'.
b. 'Urf fasid
Ialah 'urf yang tidak baik dan tidak dapat
diterima, karena bertentangan dengan syara'. Seperti kebiasaan mengadakan
sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini
tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan
agama Islam.
Ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, 'urf
terbagi kepada:
a. 'Urf 'âm
Ialah 'urf yang berlaku pada suatu tempat, masa dan
keadaan, seperti memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan
jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu
kita dan sebagainya.
b. ‘Urf al-Khas
Adalah kebiasaan yang berlaku didaerah dan
masyarakat tertentu, misalnya, dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat
tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat lainya
dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga
kebiasaan mengenai penentuan masa garasi terhadap barang tertentu.
C.
KEHUJJAHAN 'URF
Adapun mengenai kedudukan hukum ‘urf dalam Islam,
Para ulama sepakat bahwa 'urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak
bertentangan dengan syara'. 'Urf shahîh mempunyai kedudukan hukum yang patut
dilestarikan karena itu merupakan sebuah kebiasaan yang bersifat positif dan
tidak bertentangan dengan hukum syara’ untuk dilakukan dan dipertahankan. Maka
para ulama berpandangan bahwa hukum adat bersifat tetap (al-’âdat muhakkamah).
Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah
dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat
ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi'i terkenal dengan qaul
qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang
berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul qadim) dengan setelah
beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab
itu berhujjah dengan 'urf. Tentu saja 'urf fasid tidak mereka jadikan sebagai
dasar hujjah.
Mengenai ‘urf fâsid, dia mempunyai kedudukan hukum
yang tidak patut dilestarikan karena itu merupakan sebuah kebiasaan yang
bersifat negatif dan dan bertentangan dengan hukum syara’ untuk dilakukan dan
dipertahankan. Pada dasarnya, hukum adat/’urf adalah hukum yang tidak tertulis.
Ia tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan suatu masyarakat.
Ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-Shahih,
yaitu ‘urf yang tidak bertetangan dengan syara’. Baik yang menyangkut ‘urf
al-‘am dan ‘urf al-khas, maupun yang berkaitan dengan ‘urf al-lafzhi dan ‘urf
al-amali, dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’.
Seluruh Imam mazhab, menurut al-Syatibi (w. 970 H.
/ ahli ushul fiqh Maliki), dan Imam Ibn Qoyyim al-Jauziyah (691-751 H/1292-1350
M / ahli ushul fiqh Hanbali), menerima dan menjadikan ‘urf sebagai dalil
syara’, dalam menatapkan hukum, apabila tidak ada nash yang mejelaskan hukum
suatu masalah yang dihadapi. Misalnya, seseorang yang menggunakan jasa
pemandian umum dengan harga tertentu, padahal lamanya ia dalam kamar mandi itu
dan berapa jumlah air yang terpakai tidak jelas. Akan tetapi, perbuatan seperti
ini telah berlaku luas ditengah-tengah masyarakat, sehingga seluruh ulama
mazhab menganggap sah akad ini. Alasan mereka adalah ‘urf al-‘amali yang
berlaku.
Para ulama juga sepakat mengatakan bahwa ketika
ayat-ayat Alqur’an diturunkan, banyak sekali ayat-ayat yang mengukuhkan
kebiasaan yang terdapat ditengah-tengah masyarakat. Misalnya, kebolehan jual
beli yang sudah ada sebelum Islam. Hadis Rasulullah juga banyak menunjukkan
keberadaan ‘urf yang berlaku dimasyarakat seperti Hadis tentang jual beli
pesanan (salam). Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan Ibn Abbas dikatakan bahwa
Rasulullah Saw. Hijrah kemadinah, beliau melihat penduduk setempat melakukan
jual beli salam tersebut. Lalu Rasululllah Saw, bersabda:
“Siapa yang melakukan jual beli salam
pada kurma, maka hendaklah ditentukan jumlahnya, takarannya, dan tenggang
waktunya”. (HR al-Bukhari)
Diantara kaidah-kaidah fiqhiyah yang berhubungan
dengan 'urf ialah:
- Al-Adatu Muhakkamatu, yaitu "Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum."
- Isti'malunnasi hujjatun yajibu al-'amalu biha, yaitu "Perbuatan manusia yang telah tetap dikerjakannya wajib beramal dengannya."
- La yunkaru taghayyaru al-ahkam bi taghayyuri al-azman,yaitu "Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhuhungan) dengan perubahan masa."
Hukum-hukum yang diasarkan kepada ‘urf bisa berubah
sesuai dengan perubahan masyarakat pada zaman tertentu dan tempat tertentu.
D.
PERTENTANGAN 'URF DENGAN DALIL
SYARA'
‘Urf yang berlaku dimasyarakat adakalanya
bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) dan adakalanya bertentangan dengan
dalil syara’ lainnya. Dalam pertentagan ‘urf dengan nash, ulama ushul fiqh
memberikan perincian sebagai berikut :
1.
Pertentanag ‘urf dengan nash yang bersifat khusus/rinci.
Apabila petentangan ‘urf dengan nash khusus
menyebutkan tidak berfungsinya hukum yang dikandung nash, maka ‘urf tidak dapat
diterima. Misalnya, kebiasaan di zaman Jahiliyah dalam mengadopsi anak, dimana
anak yang diadopsi statusnya sama dengan anak kandung, sehingga mereka mendapat
waris apabila ayah angkatnya wafat. ‘Urf seperti ini tidak berlaku dan tidak
dapat diterima. Dalam Alqur’an dijelaskan, bahwa pengangkatan anak (adopsi)
yang menjadikannya berstatus sebagai anak kandung sendiri, Islam melarang hal
ini dengan turunnya ayat Alqur’an al-Ahzab ayat 37 :
“Dan
(ingatlah), ketika kamu Berkata kepada orang yang Allah Telah melimpahkan
nikmat kepadanya dan kamu (juga) Telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah
terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan
di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada
manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala
Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami
kawinkan kamu dengan dia[1]
supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri
anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan
keperluannya daripada isterinya[2].
dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.”
2. Pertentangan ‘urf dengan nash
yang bersifat umum
Musthafa Ahmad al Zarqa mengatakan, apabila ‘urf
telah ada ketika datangnya nash yang bersifat umum, maka harus dibedakan antara
‘urf al-lafzhi dengan ‘urf al-‘amali. Apabila ‘urf tersebut adalah ‘urf
al-lafzhi, maka ‘urf itu bisa diterima, sehingga nash yang umum itu dikhususkan
sebatas ‘urf al-lafzhi yang telah berlaku tersebut, dengan syarat, tidak ada
indikator yang menunjukkan bahwa nash umum itu tidak dapat dikhususkan oleh
‘urf. Misalnya, kata-kata shalat, puasa, haji dan jual beli, diartikan dengan
makna ‘urf kecuali ada indikator yang menunjukkan bahwa kata-kata itu
dimaksudkan sesuai dengan arti etimologinya.
Apabila ‘urf yang ada ketika datangnya nash yang
bersifat umum itu adalah ‘urf al-‘amali, maka terdapat perbedaan pendapat ulama
tentang kehujjahanya. Menurut ulama Hanafiyah, apabila ‘urf al-‘amali itu
bersifat umum, maka ‘urf tersebut dapat mengkhususkan hukum nash yang umum,
karena pengkhususan itu, menurut ulama Hanafiyah hanya sebatas al-‘urf
al-‘amali yang belaku, diluar itu nash yang bersifat umum tersebut tetap
berlaku. Misalnya, dalam sebuah Hadis Rasulullah saw :
“Nabi melarang menjual sesuatu
yang tidak dimiliki manusia dan memberi keringanan dalam jual beli pesanan “
(HR al-Bukhari dan Abu Daud)
Hadis ini, menurut Abu Yusuf, bersifat umum dan
berlaku untuk seluruh bentuk jual beli yang barangnya belum ada, kecuali dalam
jual beli pesanan. Termasuk dalam larangan ini adalah akad istisna’ (akad yang
berkaitan dengan produk suatu industri). Akan tetapi karena akad istisna’ ini
telah menjadi ‘urf dalam masyarakat diberbagai daerah, maka ijtihad para ahli
fiqh, termasuk Jumhur ulama membolehkannya sesuai dengan ‘urf seperti ini tidak
dapat mengkhususkan hukum umum yang dikandung nash tersebut.
3. ‘Urf yang terbentuk
belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan ‘urf tersebut.
Apabila suatu ‘urf terbentuk setelah datangnya nash
yang bersifat umum dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama
fiqh sepakat menyatakan bahwa ‘urf seperti ini, baik yang bersifat lafzhi
maupun ‘amali, tidak dapat dijadikan dalil-dalil dalam menetapkan hukum syara’,
karena keberadaan ‘urf ini muncul ketika nash syara’ telah menetukan hukum
secara umum. Akan tetapi apabila illat suatu nash syara’ adalah ‘urf itu
sendiri, dalam arti turunnya nash didasarka atas ‘urf al-‘amali sekalipun ‘urf
itu baru tercipta maka ketika illat nash itu hilang, hukumnya pun berubah.
Misalnya, dijelaskan dalam sebuah hadis Rsulullah Saw, bahwa tanda-tanda
kerelaan anak perawan ketika diminta izin untuk dikawinkan, adalah “diamnya”,
atau diamnya adalah kerelaannya, karena sudah menjadi tabiat wanita merasa malu
untuk menyatakan kehendak mereka secara terus terang. Akan tetapi, sesuai
perkembangan zaman, hal ini demikian hampir tidak dijumpai lagi bahwa anak
perawan lebih agresif untuk mengungkapkan keinginannya untuk dikawinkan dengan
lelaki yang ia sukai. Menurut Musthafa al-Zarqa, ‘urf para anak gadis saat ini
telah berubah. Dengan demikian, untuk menikahkan anak perawan apabila diminta
izinnya lalu diam, tidak dapat lagi diamnya itu dijadikan persetujuan. Dan
harus menunggu keterusterangan dari anak perawan itu. Dalam hal ini, ‘urf gadis
remaja dalam menyangkut persetujuannya untuk dinikahkan telah berubah dari yang
tercantum dalam Hadis diatas maka hukumnya pun berubah.
E.
KESIMPULAN
Kebiasaan yang dilakukan oleh manusia
ditengah-tengah masyarakat tertentu apabila tidak bertentangan dengan syara’
dapat diterima sebagai ‘urf. Dan disamping tidak bertentangan dengan syara’
harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh ulama ushul fiqh untuk
dapat dijadikan hujjah. Dilihat dari pembagian ‘urf ada ‘urf yang shahih dan
‘urf yang fasid, maka ‘urf yang shahih diterima sebagai dasar hukum, terhadap
satu persoalan yang harus dicari jawabannya.
Pada perinsipnya ‘urf tidak memberikan dampak yang
negatif terhadap perkembangan hukum Islam, tetapi memberikan dampak positif dan
membantu kekurangan hukum Islam itu sendiri. Karena tidak semua kebutuhan
manusia ada dalam nash karena masalah akan terus berkembang dari masa ke masa.
Sumber:
- Abu Zahrah, Muhammad, 2000, Ushul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’sum, Jakarta: Pustaka Firdaus,
- Wahab Khalaf, Abdul, 1997, Ilmu Ushulul Fiqh, ter. Masdar Helmy, Bandung: Gema Risalah Press .
- Syarifuddin, H. Amir, Prof. Dr.2001, Ushul Fiqh jilid 2, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu
- Haroen, H. Nasrun, Drs. MA. 1996, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos
- Syafe’i, Rachmat, Prof. Dr. MA.1999, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia.
- http://www.syariahonline.com/
- http://www.menaraislam.com/
- http://www.swaramuslim.com/
[1] Maksudnya: setelah habis idahnya.
[2] Yang
dimaksud dengan Orang yang Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid
bin Haritsah. Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik
masuk Islam. nabi Muhammadpun Telah memberi nikmat kepadanya dengan
memerdekakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi anak. ayat Ini memberikan
pengertian bahwa orang boleh mengawini bekas isteri anak angkatnya.