Friday, March 6, 2015

TAHURA Ir. H. DJUANDA BANDUNG


Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda Bandung
Kota bandung yang di riung ku gunung ini memiliki hitan raya yang begitu luas mencapai ratusan hektar di tengah kota Bandung yang kita kenal dengan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda merupakan kawasan konservasi yang terpadu antara alam sekunder dengan hutan tanaman yang terletak di Kota Bandung, Indonesia. Luasnya mencapai 590 hektare membentang dari kawasan Dago Pakar sampai Maribaya.

Letak Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda berada di Kampung Pakar, Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, pada ketinggian antara 770 mdpl sampai 1330 mdpl. Di atas tanahnya yang subur terdapat sekitar 2500 jenis tanaman yang terdiri dari 40 familia dan 112 species. Pada tahun 1965 luas taman hutan raya baru sekitar 10 ha saja, namun saat ini sudah mencapai 590 ha membentang dari kawasan Pakar sampai Maribaya. Saat ini pengelolaannya dilakukan oleh Dinas Kehutanan Pemda Provinsi Jawa Barat (sebelumnya berada di bawah naungan Perum Perhutani) (Sumber).

Terdapat beberapa titik di dalam kompleks hutan raya yang bisa dijadikan tujuan wisata, antara lain:

Curug Dago & Batu Prasasti Kerajaan Thailand
Curug Dago memiliki ketinggian terjunan air hanya sekitar 12 m saja dan berada di ketinggian sekitar 800 m di atas permukaan laut curug ini terbentuk dari aliran sungai Cikapundung yang mengalir dari Maribaya memasuki kota Bandung. Dengan lokasinya yang cukup tersembunyi, di daerah Bukit Dago di dalam kawasan Taman Hutan Raya (THR) Ir H Djuanda, Bandung, dan kurang ditunjang promosi wisata menyebabkan curug ini kian jarang dikunjungi wisatawan.  Tidak jauh dari lokasi air terjun, terdapat dua prasasti batu tulis peninggalan sekitar tahun 1818. Menurut para ahli sejarah, kedua prasasti tersebut konon merupakan peninggalan Raja Rama V (Raja Chulalonkorn) dan Raja Rama VII (Pradjathipok Pharaminthara) dari dinasti Chakri yang pernah berkunjung ke Curug Dago Sumber.

Kolam PLTA Bengkok
Sejak mulai beroperasi tahun 1923, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bengkok yang terletak tak jauh dari Taman Hutan Raya Juanda-Dago-Bandung, hingga kini masih berfungsi. Sejak pendiriannya, PLTA ini diberi nama oleh Belanda dengan sebutan Centrale Bengkok. Nama ini pun tetap dipertahankan mengiringi kokohnya bangunan khas Belanda yang melindungi PLTA tersebut. Hingga kini, bangunan kuno yang berdiri di areal lahan seluas 5 hektar ini, menjadi salah satu heritage milik rakyat Jawa Barat dan selalu dijadikan tujuan wisata oleh para pelajar atau wisatawan domestik lainnya (Sumber).

Monumen Ir. H. Djuanda
Di lokasi wisata ini terdapat pula Monumen Ir. H. Djuanda. Tempat ini merupakan prasasti dan museum peninggalan sejarah Ir. H Juanda. Bisa menambah banyak pengetahuan dan sejarah. Dari Museum dan monumen Ir.H Juanda pun bisa dipetik banyak inspirasi, melalui sejarah mantan Perdana Menteri Indonesia ke 10 ini, banyak hal yang patut kita teladani, berbagai sumbangan dan dedikasi terhadap bangsa dan negara di masa lalu sangat maksimal, sampai mengeluarkan Deklarasi Djuanda yang berpengaruh.

Goa Belanda
Belanda membuat terowongan ini untuk keperluan saluran air bagi pembangkit listrik tenaga air pertama di Indonesia yaitu PLTA Bengkok. Namun pada perkembangannya, air untuk pembangkit listrik kemudian disalurkan menggunakan pipa-pipa besar, sedangkan terowongan yang membelah bukit tersebut digunakan untuk kepentingan militer khususnya sebagai pusat telekomunikasi. Selanjutnya terowongan-terowongan tersebut ditambah sehingga di dalamnya menjadi lebih luas dengan beberapa lorong. Di dalamnya terdapat ruangan-ruangan lain yang berbeda-beda fungsinya. Terdapat ruangan pengawasan, penyimpanan senjata dan amunisi, termasuk penjara dan tempat interogasi.

Goa Jepang
Setelah Jepang masuk ke Indonesia, tentara Jepang kemudian mengambil alih dan menguasai Gua Belanda. Selain itu tentara Jepang juga membangun gua lainnya sebagai basis pertahanan mereka tidak jauh dari gua Belanda. Jepang menggunakan tenaga kerja paksa sehingga konon tidak sedikit korban yang berjatuhan selama pembuatan gua ini. Saat Jepang menyerah terhadap tentara sekutu, tempat ini adalah pertahanan terakhir bagi tentara Jepang yang ada di Bandung. Setelah Jepang meninggalkan Indonesia, gua inipun terlantar, tertutup oleh semak belukar dan hutan. Sampai kemudian ditemukan kembali pada sekitar tahun 1965, konon pada waktu itu masih banyak ditemukan sisa-sisa peninggalan tentara Jepang seperti senjata dan amunisi di dalamnya. Sampai sekarang pun kondisi gua Jepang ini masih tetap dibiarkan dengan kondisi alaminya, alias tidak ada perubahan atau renovasi.

Curug Lalay
Lalay itu Kelelawar. Jadi, Curug Lalay ialah Air Terjun Kelelawar. Dinamai Curug Lalay karena ternyata di sekitar curug ini banyak sekali terdapat Lalay atau Kelelawar itu. Keadaan Curug Lalay bisa dikatakan masih memiliki keasrian dan kealamian yang tinggi. Curug Lalay berada di ketinggian 1.800 meter diatas permukaan laut dan memiliki kesejukan yang tidak perlu diragukan lagi. Curug Lalay ini merupakan curug terakhir dari sebuah aliran sungai, karena ternyata di lokasi tersebut banyak terdapat curug lain yang lokasinya berada di atas Curug Lalay. Selain lokasinya yang terdapat dikawasan Bandung Utara yang berhawa sangat sejuk, curug layung juga berada pada ketinggian 1.400 meter dpl dan memiliki pemandangan yang sangat indah.

Curug Omas Maribaya
Curug ini memiliki ketinggian terjunan air sekitar 30 meter dengan kedalaman 10 m yang berada di aliran sungai Cikawari. Di atas air terjun ini terdapat jembatan yang dapat digunakan untuk melintas dan melihat air terjun dari posisi atas. Dari atas jembatan ini akan terlihat bentangan dasar sungai yang merupakan pertemuan dua aliran sungai Cikawari dan Cigulun yang nantinya menjadi daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung Hulu. Aliran ini mengalir dan berbelok membelah kawasan Tahura tersebut. Para pengunjung pun harus hati-hati karena tangga-tangganya licin dikarenakan basah oleh cipratan air curug. Di lokasi ini pun tidak jarang kawanan monyet yang turun ke jalan, tapi tidak membahayakan pengunjung namun tetap harus waspada dan hati-hati. 

Tebing Keraton
Tebing Karaton merupakan sebuah tebing yang berada di dalam kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Banyak yang bilang ini ‘Tebing Keraton‘, padahal nama aslinya sunda abis, ‘Tebing Karaton’ yang artinya itu Kemegahan Alam menurut papan informasi yang ada disana. Ketinggian Tebing Keraton yang berada tepat di daerah Dago Pakar ini sekitar 1200 mdpl, lumayan banget buat ngeliat pemandangan hutan dari atas. Bebrbeda dengan puncak lain di kota Bandung yang keika melihat kebawah akan dihiasi lampu-lampu kota. Dari Tebing Keraton dapat menikmati pemandangan keren dan spektakuler. Bukan lampu kota, melainkan hutan. Ya, Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda dari atas.

Tiket Masuk
Untung memasuki kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda pengunjung akan dikenakan tiket masuk ke lokasi tersebt dengan harga yang variatif untuk setiap lokasinya. Untuk tiket masuk Dago Pakar (gua Belanda, gua jepang, Monumen Ir. Djuanda, Curug Lalay, Curug Omas Maribaya) seharga Rp 10.000 per orang. Untuk Tebing Keraton Rp 11.000 per orang. Untuk PLTA Bengkok dan Curug Dago tidak ada tiket masuk alias free.

Rute Menuju THR Djuanda
Untuk sampai ke lokasi Taman Hutan Raya ini, pengunjung yang berasal dari dalam luar kota Bandung bisa melalui rute di bawah ini:

Buah Batu
Buah Batu > Gurame > Karapitan > Sunda > Sumatra > Aceh > Sulawesi > Seram > MArtadinata > Ir.H.Djuanda > THR Djuanda/Dago Pakar

Pasteur
Terusan Pasteur > Flyover Pasupati > Exit Tamansari > Cikapayang > Ir.H.Djuanda > THR Djuanda/Dago Pakar

Jakarta
Jakarta (Cawang) > Tol Jakarta-Cikampek > Tol Purbaleunyi (Cipularang) > Exit Pasteur > Terusan Pasteur > Flyover Pasupati > Exit Tamansari > Cikapayang > Ir.H.Djuanda > THR Djuanda/Dago Pakar

2 comments:

  1. Temukan berbagai macam informasi wisata yang ada di Indonesia beserta makna/arti/cerita tentang wisata tersebut yang ada di indonesia
    Dan juga artikel-artikel tentang wisata di wisataIndonesiaraya.com dan like page facebook wisataIndonesiaraya.com

    ReplyDelete